BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sel
darah merah adalah sel darah yang paling banyak yang berada dalam tubuh kita
yang membawa oksigen dan zat-zat lainnya dimana sel darah merah merupakan
sel-sel mikroskopis dan tidak memiliki inti sel. Selain itu penyakit kelainan
atau kekurangan sel darah merah merupakan penyakit yang sering terjadi
diseluruh dunia. Salah satunya yaitu anemia defisiensi besi, yang akhir-akhir
ini semakin meningkat frekuensinya. Dibeberapa Negara, meliputi Afrika, Amerika,
Eropa dan sebagian besar di Asia. Anemia defisiensi besi adalah
anemia yang disebabkan oleh kurangnya mineral FE sebagai bahan yang diperlukan
untuk pematangan eritrosit.
Anemia defisiensi besi pada ibu
hamil masih merupakan penyebab utama angka kematian ibu diseluruh dunia. Menurut
WHO (2008), secara global prevalensi anemia pada ibu hamil di seluruh dunia
adalah sebesar 41,8 %. Prevalensi anemia pada ibu hamil diperkirakan di Asia
sebesar 48,2 %, Afrika 57,1 %, Amerika 24,1 %, dan Eropa 25,1 %. Berdasarkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi anemia pada ibu
hamil di Indonesia sebesar 37,1 %. Pemberian tablet Fe di Indonesia pada tahun
2012 sebesar 85 %. Presentase ini mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun
2011 yang sebesar 83,3 %. Meskipun pemerintah sudah melakukan program
penanggulangan anemia pada ibu hamil yaitu dengan memberikan 90 tablet Fe
kepada ibu hamil selama periode kehamilan dengan tujuan menurunkan angka anemia
ibu hamil, tetapi kejadian anemia masih tinggi. (Kementerian Kesehatan RI,
2013).
Anemia
sering kali disebabkan oleh kurangnya kandungan zat besi dalam makanan,
penyerapan zat besi dari makanan yang sangat rendah, adanya zat-zat yang menghambat
penyerapan zat besi, dan adanya parasit di dalam tubuh seperti cacing tambang
atau cacing pita, atau kehilangan banyak darah akibat kecelakaan atau operasi
(Arumsari dkk, 2008).
Anemia
pada kehamilan merupakan salah satu masalah nasional karena mencerminkan nilai
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan pengaruhnya sangat besar terhadap
kualitas sumber daya manusia. Anemia pada ibu hamil disebut “ Potensial danger
to mother and child ” (potensial membahayakan ibu dan anak). Oleh karena itulah
anemia memerlukan perhatian serius dari semua pihak yang terkait dalam
pelayanan kesehatan (Manuaba, 2007).
Kematian
ibu dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya karena anemia. Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia relatif tinggi yaitu sebesar 262 per 100.000
kelahiran hidup (BPS, 2005). Ini berarti setiap jam ada 1 ibu yang meninggal
karena proses kehamilan dan persalinan. Padahal Angka 2 Kematian Ibu (AKI)
merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu negara.
Seorang wanita hamil yang memiliki kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11g %
disebut anemia. Kekurangan zat besi pada wanita hamil merupakan penyebab
penting yang melatarbelakangi kejadian morbiditas dan mortalitas, yaitu
kematian ibu pada waktu hamil dan pada waktu melahirkan atau nifas sebagai
akibat komplikasi kehamilan. Sekitar 20 % kematian maternal di negara
berkembang disebabkan oleh anemia defisiensi besi.
Beberapa komplikasi yang dapat timbul
diantaranya, Gagal jantung kongesif Parestesia, Konfungsi kanker, Penyakit
ginjal, Gondok, Gangguan pembentukan heme, Penyakit infeksi kuman, Thalasemia,
Kelainan Jantung, Rematoid, Meningitis dan Gangguan sistem imun. Sedangkan
anemia komplikasi anemia pada ibu hamil diantaranya, Keguguguran ( Abortus ),
Kelahiran prematurs, Persalinan yang lama akibat kelelahan otot rahim di dalam
berkontraksi ( inersia utari ), Perdarahan akibat tidak adanya
kontraksi otot rahim ( atonia uteri ), Syok, Infeksi saat
bersalin maupun pasca bersalin, Hipoksia – Anemia yang berat yaitu
< 4 gram dapat menyebabkan dekompensasi kordis. Akibat anemia ini, dapat
menyebabkan syok dan kematian pada ibu saat persalinan.
Segera
hubungi dokter untuk mendapatkan penangan sebelum kondisi kesehatan bertambah
parah dan memicu penyakit komplikasi. Dalam hal ini perawat memiliki peran
dalam membantu pasien dengan penyakit anemia defisiensi besi, diataranya : Perawat
sebagai tenaga Promotif yaitu yaitu melakukan penyuluhan kesehatan terhadap
pasien. Dengan meningkatkan kesehatan pasien agar tidak terjadi komplikasi atau
akibat lanjut dari anemia defisiensi besi. Perawat sebagai tenaga Preventif yaitu
mencegah agar pasien tersebut tidak mengalami komplikasi, yaitu dengan
memberikan asuhan keperawatan pada pasien tersebut dengan tepat. Perawat
sebagai tenaga Kuratif yaitu memberikan tindakan pengobatan terhadap pasien
anemia difesiensi besi. Pengobatan ini dilakukan secara kolaboratif dengan
dokter dan farmasi. Perawat sebagai tenaga Rehabililitatif yaitu sebagai pusat
tenaga rehabilitasi terhadap pasien, yaitu dengan cara memberikan pendidikan
kesehatan tentang anemia defisiensi besi.
Alasan
kelompok membahas penyakit anemia defisiensi besi yaitu tidak lain untuk
mengetahui apa penyebab anemia defisiensi besi, kenapa bisa terjadi, apa saja
komplikasinya, bagaimana cara penanganannya dan pengobatan bila penyakit ini
sudah berkelanjutan. Dan apakah penyakit ini disebabkan oleh factor genetic
atau bukan. Ini lah alasan kelompok mengangkat masalah penyakit anemia
defisiensi besi.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa definisi anemia defisiensi besi?
2.
Apa etiologi dan dan factor resiko anemia
defisiensi besi?
3.
Bagaimana patofisiologi anemia defisiensi
besi?
4.
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien
dengan anemia defisiensi besi?
C. Tujuan Penulisan
1.
Tujuan Umum
a.
Menjelaskan definisi anemia defisiensi besi
b.
Menjelaskan etiologi dan dan factor resiko
anemia defisiensi besi
c.
Menjelaskan patofisiologi serta manifestasi
klinis anemia defisiensi besi
d.
Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien
dengan anemia defisiensi besi
2.
Tujuan Khusus
a.
Pembaca dapat memahami definisi, etiologi,
factor resiko serta patofiologi anemia defisiensi besi.
b.
Pembaca khususnya mahasiswa ilmu keperawatan
dapat memahami asuhan keperawatan terhadap pasien anemia defisiensi besi
c.
Perawat dapat menerapkan asuan keperawatan
yang tepat terhadap pasien dengan anemia defisiensi besi
D. Sistematika Penulisan
Dalam
penulisan makalah ini terdiri dari :
1.
Bab I :
Berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, dan Tujuan
Penulisan
2.
Bab II :
Berisi tentang Konsep Dasar, Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Faktor
Resiko, Evaluasi Diagnostik, dan
Penatalaksanaan
3.
Bab III :
Berisi tentang Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Intervensi,
Implementasi dan Evaluasi
4.
Bab IV :
Berisi tentang Kesimpulan dan Saran
5.
Daftar Pustaka
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
A. Anatomi Fisiologi
Berupa
cakram kecil bikonkaf, cekung pada kedua sisinya, sehingga dilihat dari samping
tampak seperti dua buah bulan sabit yang saling bertolak belakang. Dalam setiap
millimeter kubik darah terdapat 5.000.000 sel darah. Kalau dilihat satu per
satu warnanya kuning tua pucat, tetapi dalam jumlah besar kelihatan merah dan
memberi warna pada darah. Strukturnya terdiri atas pembungkus luar atau stroma,
berisi massa hemoglobin.
Sel darah merah
memerlukan protein karena strukturnya terbentuk dari asam amino. Sel darah merah
juga memerlukan zat besi, sehingga untuk membentuk penggantinya diperlukan diet
seimbang yang berisi zat besi. Wanita memerlukan lebih banyak zat besi karena
beberapa di antaranya dibuang sewaktu menstruasi. Sewaktu hamil diperlukan
banyak lagi untuk perkembangan janin dan pembuatan susu.
Proses pembentukan sel darah terjadi pada awal masa
embrional (masih janin sel atau sel paling muda), sebagian besar pada hati dan
sebagian besar pada limpa. Dari kehidupan fetus hingga bayi dilahirkan.
Pembentukan sel darah berlangsung dalam 3 tahap yaitu :
a.
Pembentukan di saccus vitellinus
b.
Pembentukan di hati,kalenjar limfe dan limpa
Pembentukan sel darah mulai terjadi pada sumsum tulang setelah minggu ke-20 atau bulan ke 5 masa embrionik.(Masa awal janin sel atau sel paling muda). Dengan bertambahnya usia janin,produksi sel darah semakin banyak terjadi pada sumsum tulang dan peranan hati dan limfa semakin berkurang. Sesudah lahir, semua sel darah dibuat pada sumsum tulang, pada sumsum tulang, kecuali limfosit yang juga dibentuk di kalenjar limfe, thymus, dan lien. Pada orang dewasa, pembentukan sel darah diluar sumsum tulang (extramedullary hemopoiesis) masih dapat terjadi bila sumsum tulang mengalami kerusakan atau mengalami fibrosis. Sampai dengan usia 5 tahun,pada dasarnya semua tulang dapat menjadi tempat pembentukan sel darah.Tetapi sum-sum tulang dari tulang panjang,kecuali bagian proksimal humerus dan tibia,tidak lagi membentuk sel darah setelah usia mencapai 20 tahun.Setelah usia 20 tahun, sel darah diproduksi terutama pada tulang belakang,sternum,tulang iga dan ilinium. 75% sel pada sumsum tulang menghasilkan sel darah putih dan hanya 25% sel darah merah. Jumlah eritrosit dalam sirkulasi 500 kali lebih banyak dari leukosit. hal ini disebabkan oleh karena usia leukosit dalam sirkulasi lebih pendek (hanya beberapa hari ) sedangakan eritrosit (120 hari). Rata-rata panjang hidup darah merah kira-kira 115 hari. Sel menjadi usung dan dihancurkan dalam system retikulo-endotelial, terutama dalam limpa dan hati.
Sel darah merah
dibentuk dalam sumsum tulang, terutama dari tulang pendek, pipih, dan tak
beraturan, dari jaringan kanselus pada ujung tulang pipa, dari sumsum dalam
batang iga-iga, dan dari
sternum.
Perkembangan sel
darah dalam sumsum tulang melalui berbagai tahap : mula-mula besar dan berisi
nucleus, tetapi tidak ada hemoglobin. Kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya
kehilangan nukleusnya, kemudian baru diedarkan ke dalam sirkulasi darah.
Molekul hemoglobin manusia
tersusun dari empat subunit protein berbentuk globul (yaitu hampir berbentuk
sfera). Oleh sebab satu subunit dapat membawa satu molekul oksigen, maka secara
efektifnya setiap molekul hemoglobin dapat membawa empat molekul oksigen.
Setiap subunit pula terdiri dari satu rantai polipeptida yang mengikat kuat
sebuah molekul lain, disebut heme.
Struktur heme adalah lebih kurang sama dengan klorofil. Ia terdiri dari satu molekul bukan protein berbentuk cincin yang disebut porphyrin, dan satu atom besi (Fe) yang terletak di tengah-tengah molekul porphyrin. Disinilah oksigenakan diikat semasa darah melalui paru-paru.
Hemoglobin, yang merupakan
sekitar 90 persen dari protein sel darah merah, merupakan protein tetramerik,
yaitu mengandungi empat rantai polipeptida. Hemoglobin dewasa (HbA), hemoglobin
utama orang dewasa, memiliki dua rantai a dan ß dalam strukturnya («2 ß2) dan
dengan demikian memiliki struktur kuaterner heterogen. Terdapat juga suatu
hemoglobin dewasa minor (HbA2) yang secara normal mencakup sekitar 3 persen
dari hemoglobin total dan mempunyai dua rantai Ô sebagai pengganti rantai ß
(oc2 82). HbA dan HbA2 merupakan bentuk postnatal dari hemoglobin. Sebelum
kelahiran, hemoglobin janin dan embrionik digunakan sebagai karier oksigen.
Hemoglobin yang pertama timbul dalam perkembangan embrional disebut sebagai
Ç2£2; rantai Ç dan e masing-masing analog dengan rantai a dan rantai ß. Jika
produksi rantai Ç berhenti (setelah sekitar enam minggu), maka timbul tetramer
oc2 C2, yaitu a menggantikan Ç Suatu hemoglobin embrionik ketiga Ç272, juga
telah diidentifikasi (y menggantikan e). Dua hemoglobin yang disebut terakhir
ini merupakan fase transisi yang menjurus pada timbulnya hemoglobin janin
(HbF), yang komposisi tetrameriknya adalah 0272. Dua rantai a, masing-masing
dengan residu 141 asam amino, merupakan ciri molekular lazim dari HbF dan HbA.
Rantai y, 5 dan ß, walaupun merupakan spesies molekul yang khas, namun
masing-masing terdiri dari146 residu dan mempunyai asam amino homolog (serupa
tetapi tidak sama). Rantai ydan 8 berbeda dari rantai ß masing-masing pada
residu asam amino 39 dan 10.
Hemoglobin tidak hanya
melengkapi oksigen ke jaringan tetapi juga mengangkut produk sampah dari
metabolisme (H+ dan CO2) jaringan. Karena biomolekul yang sama bertanggung jawab
bagi kedua sistem transpor, maka tidak mengherankan bahwa terdapat pengaturan
yang saling mempengaruhi antara kedua fungsi ini. Saling ketergantungan
metabolik dari dua fungsi transpor hemoglobin ini dikenal sebagai efek Bohr.
Peningkatan konsentrasi CO2 dan H+ (penurunan pH) menurunkan afinitas oksigen
dari hemoglobin dan sebaliknya, peningkatan konsentrasi oksigen menurunkan
afinitas bagi CO2 dan H+. (Sebagai kontras, peningkatan konsentrasi CO2 dan H+
mempunyai efek yang kecil terhadap afinitas oksigen mioglobin.) Dalam keadaan
fisiologi, saling keterkaitan antara dua fungsi transpor ini merupakan aspek
yang penting dari masing-masing sistem. Asam (H+) dan CO2 dalam kapiler dari
jaringan yang bermetabolisme secara aktif, contohnya, otot, menyebabkanmeningkatnya
pembebasan oksigen yang terikat hemoglobin, yang dibutuhkan oleh jaringan untuk
metabolisme berikutnya. Dalam paru-paru, konsentrasi oksigen yang tinggi
meningkatkan pelepasan H+ dan CO2 dari hemoglobin untuk ekshalasi CO2.
Globin
dari hemoglobin dipecah menjadi asam
amino untuk digunakan sebagai protein dalam pembentukan sel darah merah lagi.
Sisa hem dari hemoglobin diubah menjadi bilirubin
(pigmen kuning) dan biliverdin
yang berwarna kehijau-hijauan dan dapat dilihat pada perubahan warna hemoglobin
yang rusak pada luka memar.
Bila
terjadi perdarahan maka sel merah dengan hemoglobinnya sebagai pembawa oksigen,
hilang. Pada perdarahan sedang, sel-sel itu diganti dalam waktu beberapa minggu
berikutnya. Tetapi bila kadar hemoglobin turun sampai 40% atau dibawahnya, maka
diperlukan tranfusi darah.
Fungsi
:
Mengikat oksigen dari paru-paru untuk diedarkan keseluruh jaringan tubuh dan
mengikat karbon dioksida dari jaringan tubuh untuk dikeluarkan melalui
paru-paru / melalui jalan pernafasan.
Produksi Eritrosit (Eritropoesis):
a. Terjadi di sumsum tulang dan
memerlukan besi, Vit B12, asam folat, piridoksin (B6)
b. Di pengaruhi oleh O₂ dalam jaringan
c. Masa hidup : 120 hari
d. Eritrosit tua dihancurkan di sistem
retikuloendotelial (hati dan limpa)
e. Pemecahan Hb menghasilkan bilirubin
dan besi. Besi berkaitan dengan protein (transferin) dan diolah kembali menjadi
Hb baru.
B.
Pengertian
Anemia Defisiensi Besi
Anemia (dalam bahasa Yunani: tanpa darah) adalah keadaan
saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen)
dalam sel darah merah berada dibawah normal. Sel darah merah mengandung
hemoglobin yang memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru –
paru dan mengantarkannya ke seluruh
bagian tubuh.
Anemia adalah
gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, eleman
tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah
yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada banyak
tipe anemia dengan beragam penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 1999).
a.
Anemia defisiensi Besi :
Tidak cukupnya suplai besi mengakibatkan
defek pada sintesis Hb, mengakibatkan timbulnya sel darah merah yang hipokrom dan mikrositer.
b.
Anemia Megaloblastik
Defisiensi folat atau vitamin B12
mengakibatkan gangguan pada sintesis timidin dan efek pada replikasi DNA,
efek yang timbul adalah pembesaran prekursor sel darah (megaloblas) di sumsum tulang,
hematopoiesis yang tidak efektif, dan pansitopenia.
c.
Anemia Aplastik
Sumsum tulang gagal memproduksi sel darah akibat
hiposelularitas. Hiposelularitas ini dapat terjadi akibat paparan racun,
radiasi, reaksi terhadap obat atau virus, dan efek pada perbaikan DNA serta
gen.
d.
Anemia Mieloptisik
Anemia yang terjadi akibat penggantian sumsum tulang oleh
infiltrate sel-sel tumor, kelainan granuloma,
yang menyebabkan pelepasan eritroid pada tahap awal.
2.
Klasifikasi anemia berdasarkan ukuran
sel
a.
Anemia mikrositik : penyebab utamanya
yaitu defisiensi besi dan talasemia (gangguan Hb)
b.
Anemia normositik : contohnya yaitu
anemia akibat penyakit kronis seperti gangguan ginjal.
c.
Anemia makrositik : penyebab utama
yaitu anemia pernisiosa, anemia akibat konsumsi
alcohol, dan anemia megaloblastik.
Anemia defisiensi besi adalah anemia
yang disebabkan oleh kurangnya mineral FE sebagai bahan yang diperlukan untuk
pematangan eritrosit (Arif Mansjoer, kapita selekta, jilid 2 edisi 3,
Jakarta 1999).
Pada Laki-laki dewasa
(berat badan 75 kg) mengandung ± 4000 mg zat
besi, sementara wanita dewasa (berat badan 55 kg) mengandung ± 2100 mg zat besi. Laki-laki
memiliki cadangan zat besi di dalam limpa dan sumsum tulang sebanyak
500-1500 mg, itulah sebabnya kekurangan darah (anemia) jarang dijumpai pada
laki-laki. Sebaliknya, wanita hanya mempunyai cadangan zat besi 0 – 300 mg
sehingga rentan terhadap anemia, apalagi
pada usia subur wanita mengalami menstruasi.
C. Etiologi
Penyebab
terjardinya penyakit Anemia Defisiensi Besi, menurut Dr. Lyndon Saputra sebagai
berikut :
1. Kehilangan
darah akibat pendarahan di saluran pencernaan atau menstruasi (penyebab yang
lebih jarang adalah kehilangan darah melalui saluran urogenital).
2. Kekurangan
zat besi dalam diet (pada orang dewasa jarang terjadi)
3. Absorpsi
zat besi yang buruk pada pasien yang pernah menjalani bedah lambung atau usus
halus
4. Flebotomi
berulang, baru saja mendonorkan darah
5. Kebutuhan
yang meningkat (misalnya selama kehamilan)
6. Hemolisis
traumatis (fungsi katup jantung yang abnormal), hermosiderosis pulmonalis
idiopatik (sekuestrasi zat besi dalam makrolag paru-paru), hemoglobinuria,
nocturnal paroksimal (hemolysis intravascular).
D.
Patofisiologi
Timbulnya
anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum atau kehilangan sel darah merah
berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum (misalnya
berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan
toksik, invasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel
darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolysis (destruksi). Pada
kasus yang disebut terakhir, masalahnya dapat akibat defek sel darah merah yang
tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel
darah merah. Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel
fagositik atau dalam system retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa.
Sebagai hasil samping proses ini, bilirubin, yang terbentuk dalam fagosit, akan
memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel sarah merah (hemolysis)
segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma. (Konsentrasi
normalnya1 mg/dl atau kurang: kadar di atas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik
pada sclera)
Apabila
sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, seperti yang terjadi
pada berbagai kelainan hemolitik, maka hemoglobin akan muncul dalam plasma
(hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin
plasma (protein pengikat untuk hemoglobinbebas) untuk mengikat semuanya
(misalnya apabila jumlahnya lebih dari sekitar 100 mg/dl), hemoglobin akan
terdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin (hemoglobinuria dapat
memberikakan informasi mengenaik lokasi pengahancuran sel darah merah abnormal
pada pasien dengan hemolysis dan dapat merupakan petunjuk untuk mengetahui
sifat proses hemolotik tersebut.
Eritropoesis
(produksi sel darah merah) dapat ditentukan dengan mengukur kecepatan dimana
injeksi besi radioaktif dimasukkan ke sirkulasi eritrosit. Rentang hidup sel
darah merah pasien (kecepatan hemolysis) dapat diukur dengan menandai sebagian
diantaranya dengan injeksi kromium radioaktif, dan mengikuti sampai bahan
tersebut menghilangi dari sirkulasi darah selama beberapa hari sampai minggu. Fungsi darah
adalah membawa makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini
kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang, akibatnya dapat menghambat kerja organ – organ penting, salah satunya
otak. Otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya kurang,
maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah, lambat menangkap, jika sudah rusak
tidak bisa diperbaiki (Sjaifoellah, 1998).
Pendarahan saluran cerna, uterus,
hidung, luka
|
Overaktif Retikulo Endotalia Sistema,
Produksi SDM abnormal
|
Defisiensi besi, B 12, As. Folat,
Depresi sumsum tulang, eritropoetin menurun
|
Kehilangan
SDM (sel darah merah)
|
Pengahancuran sel darah merah menjadi
meningkat
|
Produksi
sel darah merah menurun
|
Pertahanan sekunder tidak
adekuat
|
Resiko Infeksi
|
Efek GI
|
Penurunan jumlah eritrosit
|
Penurunan kadar Hb
|
Kompensansi
jantung
|
Kompensasi paru
|
Gangguan penyerapan nutrisi dan
defisiensi folat
|
Beban kerja dan curah jantung
meningkat
|
Takikardia,
angina (nyeri dada), iskemia miokardium, beban kerja jantung meningkat
|
Penurunan transport O2
|
Peningkatan frekuensi napas
|
Dyspnea (kesulitan bernapas)
|
Glositis
berat (lidah meradang), diare
|
Intake
nutrisi menurun (anoreksia)
|
Ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer akut
|
Ketidak
seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
|
Peningkatan
kontraktilitas
|
Palpitasi
|
Hipoksia
|
Lemah
lesu, Parestesia, mati rasa, ataksia, gangguan koordinasi, bingung
|
Defisit perawatan
diri Intolerasi aktivitas
|
Penebalan dinding ventrikel
|
Kardiomegali
|
Ketidakefektifan
pola napas
|
Bagan 2.2 : Patofiologi anemia dalam keperawatan
Amin Huda Nurarif. 2015.
Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-NOC.
Yogyakarta : Mediaction
E.
Manifestasi
Klinis
Semakin
cepat perkembangan anemia, semakin berat gejalanya. Pada orang yang normal
penurunan hemoglobin, hitung darah merah, atau hematocrit tanpa gejala yang
tampak atau ketidak mampuan yang jelas secara bertahap biasanya dapat ditoleransi sampai 50%, sedangkan
kehilangan cepat sebanyak 30% dapat
menyebabkan kolaps vaskuler pada individu yang sama. Individu yang telah
mengalami anemia selama waktu yang cukup lama, dengan kadar hemoglobin antara 9
dan 11 mg/dl, hanya mengalami sedikit gejala atau tidak ada gejala sama sekali
selain takikardia ringan saat latihan. Dispnu latihan biasanya terjadi hanya di
bawah 7,5 g/dl; kelemahan hanya terjadi dibawah 6 g/dl; dispnu istirahat di
bawah 3g/dl; dan gagal jantung, hanya pada kadar sangat rendah 2 sampai 2,5 g/dl.
Pasien
yang biasanya aktif lebih berat mengalami gejala, dibanding orang yang tenang.
Pasien dengan hipotiroidisme dengan kebutuhan oksigen yang rendah bias tidak
bergejala sama sekali, tanpa takikardia atau peningkata tubuh curah jantung.
F.
Pemeriksaan
Penunjang ( Menurut Smeltzer, Suzanne C.)
Jumlah Darah Lengkap (JDL)
|
Hemoglobin dan hematocrit menurun
|
Jumlah Eritrosit
|
Menurun (AP), menurun berat
(aplastic), MCV (volume korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin korpuskulr
rerata) menurun dan mikrositik dengan
eritositik dengan eritrosit hipokromik (DB), peningkatan (AP)
|
Jumlah Retikulosit
|
Bervariasi, misalnya menurun (AP),
meningkat (respons sumsum tulang terhadap kehilangan darah hemolisis)
|
Pewarnaan Sel Darah Merah
|
Mendeteksi perubahan warna dan
bentuk (dapat mengindikasikan tipe khusus anemia)
|
Laju Endap Darah (LED)
|
Peningkatan menunjukkan adanya
reaksi inflamasi, misalnya, peningkatan kerusakan sel darah merah atau
penyakit maligasi.
|
Masa Hidup Sel Darah Merah
|
Berguna dalam membedakan diagnose
anemia, misalnya pada tipe anemia tertentu, sel darah merah mempunyai waktu
hidup lebih pendek.
|
Tes Kerapuhan Eritrosit
|
Menurun (Defisiensi Besi)
|
SDP
|
Jumlah sel total sama dengan sel
darah merah (diferensial) mengkin meningkat (hemolitik) atau menurun
(aplastic)
|
Jumlah Trombosit
|
Menurun (aplastic); meningkat (Defisiensi
Besi); normal atau tinggi (hemolitik)
|
Pemeriksaan Endoskopik dan
Radiografik
|
Memeriksa sisa perdarahan;
perdarahan GI
|
Hemoglobin
Elektroforesis
|
Mengidentifikasi
tipe struktur hemoglobin.
|
Bilirubin
Serum (tak terkonjugasi)
|
Meningkat
(AP, Hemolitik)
|
Folat
serum dan vitamin B12
|
Membantu
mendiagnosa anemia sehubungan dengan defisiensi masukkan/absorpsi
|
Besi
Serum
|
Tak
ada (DB)
|
TIBC
Serum
|
Meningkat
(DB)
|
Feritin
Serum
|
Menurun
(DB)
|
Masa
Perdarahan
|
Memanjang
(aplastic)
|
LDH
Serum
|
Mungkin
meningkat
|
Tes
Schilling
|
Penurunan
ekskresi vitamin B12 urine (AP)
|
Guaiac
|
Mungkin
positif untuk darah pada urine, feses, dan isi gaster, menunjukkan perdarahan
akut/kronis (DB)
|
Analisa
Gaster
|
Penurunan
sekresi dengan peningkatan pH dan tak adanya asam hidroklorik bebas (AP)
|
Aspirasi
Sumsum Tulang atau Pemeriksaan Biopsi
|
Sel
mungin tampak berubah dalam jumlah, ukuran, dan bentuk, membentuk membedakan
tipe anemia, misalnya peningkatan megaloblas (AP), lemak sumsum dengan
penurunan sel darah (aplastic)
|
Pemeriksaan
Endoskopi
|
Memeriksa
sisa perdarahan; perdarahan GI
|
G.
Evaluasi
Diagnostik ( Menurut Smeltzer, Suzanne C. )
Berbagai
uji hematologis dilakukan untuk menentukan jenis dan penyebab anemia. Uji
tersebut meliputi kadar hemoglobin dan hematocrit, indeks sel darah merah,
penelitian sel darah putih, kadar besi serum, pengukuran kapasitas ikatan-besi.
Kadar folat, vitamin B12, hitung
trombosit, waktu perdarahan, waktu protrombin, dan waktu tromboplastin
parsial. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang dapat dilakukan. Selain itu, perlu
dilakukan pemeriksaan diagnosik untuk menentukan adanya penyakit akut dan
kronis serta sumber kehilangan darah kronis.
H.
Penatalaksanaan
( Menurut Smeltzer, Suzanne C. )
Kecuali
pada kasus kehamilan, penting dicari penyebab defisien besi. Anemia bisa
merupakan tanda adanya keganasan gastrointestinal yang dapat disembuhkan atau
fibroid uterus atau kanker. Specimen tinja harus diperiksa akan adanya darah
tersembunyi. Berbagai preparat besi oral tersedia untuk penangannya: sulfat
ferosus, glukonat ferosus, dan fumarat ferosus. Adalah sulfat ferosus. Tablet
dengan salut enteric kurang bisa diabsorbsi dan harus dihindari. Secara umum,
besi harus dilanjutkan selama satu tahun setelah sumber perdarahan dapat
terkontrol. Sehingga cadangan besi dapat kembali terpenuhi.
I.
Factor
Resiko
Ada banyak faktor risiko anemia
karena kekurangan zat besi, seperti:
1. Jenis Kelamin
Jumlah penderita anemia lebih banyak
wanita dibanding pria. Beberapa alasan wanita lebih banyak terkena anemia yaitu
a. Pada umumnya masyarakat Indonesia
lebih banyak mengonsumsi makanan nabati dibandingkan hewani, sehingga masih
banyak yang menderita anemia;
b. Wanita lebih jarang makan makanan
hewani dan sering melakukan diit pengurangan makan karena ingin langsing;
c. Wanita Mengalami haid setiap bulan,
sehingga membutuhkan zat besi dua kali lebih banyak daripada pria (Depkes
1998).
2. Besar Keluarga (Menurut Prihartini
et al 1996)
Besar
keluarga sangat berpengaruh pada jumlah makanan yang harus disediakan. Semakin
sedikit jumlah anggota kelurga maka semakin mudah terpenuhi kebutuhan makanan
seluruh anggota keluarga. Demikian juga, apabila jumlah anggota keluarga
banyak, maka makanan yang tersedia tidak mencukupi apabila pendapatan terbatas.
Besar keluarga akan mempengaruhi konsumsi gizi di dalam suatu keluarga dan akan
mempengaruhi pula pada kesehatan anak-anak dan ibu.Konsumsi pangan tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor ekonomi tetapi juga faktor non ekonomi. Faktor non
ekonomi tersebut di antaranya besar keluarga dan komposisi umur dalam keluarga (Putri
2004). Sanjur (1982) diacu dalam Putri (2004) menyatakan bahwa besar keluarga
mempunyai pengaruh pada belanja pangan. Pendapatan per kapita dan belanja pangan
akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga.
3. Pendidikan
Faktor pendidikan dapat mempengaruhi
status anemia seseorang sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan
informasi tentang gizi yang lebih baik dibandingkan seseorang yang
berpendidikan lebih rendah (Permaesih & Herman 2005). Menurut Atmarita dan
Fallah (2004), tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap
dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi memudahkan
seseorang untuk dapat menerima informasi dan menerapkannya dalam perilaku dan
gaya hidup sehat sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi.
4. Pekerjaan
Pekerjaan seseorang dapat
mempengaruhi besarnya pendapatan, selain itu juga lamanya waktu yang
dipergunakan seseorang ibu untuk bekerja di dalam dan di luar rumah, jarak
tempat kerja dapat mempengaruhi susunan makanan dalam keluarganya (Khumaidi
1989). Hasil penelitian Oktaviani (1989) diacu dalam Putri (2004) menunjukkan
bahwa tingkat pendapatan yang berbeda akan menyebabkan alokasi pengeluaran yang
berbeda. Golongan berpendapatan rendah, proporsi pengeluaran untuk pangan lebih
besar dibandingkan pengeluaran lainnya, sedangkan pada golongan berpendapatan
tinggi persentase pengeluaran pangan lebih kecil dibandingkan pengeluaran
lainnya.
5. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan seseorang
yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari
makanan dalam jangka waktu yang lama (Supariasa et al.2001). Menurut Thompson
(2007) diacu dalam Arumsari (2008), status gizi mempunyai korelasi positif
dengan konsentrasi hemoglobin, artinya semakin buruk status gizi seseorang maka
semakin rendah kadar Hbnya.Adapun penilaian status gizi berbeda-beda untuk
setiap kelompok umur.
a. Status Gizi Usia 10-14tahun.
Status gizi penduduk umur 10-14
tahun dapat dinilai berdasarkan IMT yang dibedakan menurut umur dan jenis
kelamin. Rujukan untuk menentukan kurus, apabila nilai IMT kurang dari 2
standar deviasi (SD) dari nilai rerata, dan berat badan (BB) lebih jika nilai
IMT lebih dari 2 SD nilai rerata standar WHO 2007.
b. Status
Gizi Usia > 15
tahun
Pengukuran
paling reliable untuk ras spesifik dan populasi untuk menentukan status gizi
adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan seseorang
dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan membagi berat
badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi dalam satuan meter kuadrat
(Riyadi 2003).
Rumus IMT :
IMT = Berat Badan (kg)
Tinggi Badan
(m2)
6. Intik dan Bioavailabilitas Zat Besi
(Fe)
Besi merupakan mineral mikro yang
paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yakni sebanyak 3 - 5
gram di dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier 2000).
Zat besi berperan sebagai pusat
katalis untuk berbagai fungsi metabolik. Besi dibutuhkan tubuh dalam
transportasi oksigen dalam bentuk hemoglobin yang penting untuk respirasi sel.
Besi dalam bentuk mioglobin, dibutuhkan dalam penyimpanan oksigen di dalam
otot. Zat besi juga merupakan komponen berbagai enzim jaringan, seperti
sitokrom, yang penting dalam produksi energi (Strain & Cashman 2002).
Besi bekerja sama dengan rantai
protein-pengangkut elektron, yang berperan dalam metabolisme energi di dalam
tiap sel. Protein pengangkut memindahkan hidrogen dan elektron yang berasal
dari zat gizi penghasil energi ke oksigen sehingga membentuk air. Selanjutnya
dalam proses tersebut dihasilkan ATP (Almatsier 2000).
Tidak semua zat besi yang berada
dalam makanan dapat diserap oleh tubuh karena bioavailabilitasnya yang rendah
atau kurangnya asupan pangan hewani (UNICEF 1998).
Zat besi yang berasal dari hewani,
penyerapannya tidak banyak dipengaruhi oleh jenis kandungan makanan lain dan
lebih mudah diabsorpsi dibandingkan zat besi yang berasal dari nabati. Makanan
nabati, misalnya sayuran hijau tua, walaupun kaya akan zat besi namun hanya
sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus (Wirakusumah 1998).
Namun pangan sumber zat besi
terutama zat besi hem, yang bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang
dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang. Kebanyakan masyarakat memenuhi
kebutuhan besi dari produk nabati (Depkes 1998).
Ada tiga faktor utama yang
mempengaruhi jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh, yaitu ketersediaan zat
besi di dalam tubuh, bioavailabitas zat besi, dan adanya faktor penghambat zat
besi. Apabila jumlah zat besi yang berada di dalam tubuh menurun maka
penyerapan zat besi akan meningkat. Pada laki-laki, penyerapan zat besi akan
meningkat setelah pertumbuhan berhenti dan memasuki masa dewasa. Sebaliknya,
pada wanita setelah masa menopause cadangan zat besi dalam tubuh meningkat dan
penyerapannya menurun karena tidak mengalami menstruasi lagi (Wirakusumah
1998).
Zat besi yang terdapat dalam bahan
makanan dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan. Zat besi yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan memiliki daya seraplebih rendah (5%) dibanding zat besi yang
berasal dari hewan yang mempunyai daya serap tinggi (15%). Bentuk zat besi yang
terdapat di dalam makanan dapat mempengaruhi penyerapan zat besi oleh tubuh.
Ada dua macam bentuk zat besi dalam makanan, yaitu hem dan nonhem. Zat besi hem
berasal dari hewan seperti daging, ikan, dan ayam, sedangkan zat besi non-hem terdapat
pada pangan nabati, seperti sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, dan
buah-buahan. Walaupun kandungan zat besi hem dalam makanan hanya antara 5-10%,
tetapi penyerapannya mencapai 15%, sedangkan zat besi nonhem penyerapannya
hanya 5% (UNICEF 1998).
Penyerapan zat besi non-hem sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor penghambat maupun pendorong, sedangkan besi hem
tidak (Thankachan et al.2008).
Adapun faktor yang mempermudah
penyerapan zat besi non-hem adalah vitamin C (asam askorbat) (UNICEF 1998).
Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan zat besi non-hem sampai empat kali
lipat (Wirakusumah 1998). Zat besi diangkut melalui dinding usus dalam senyawa
dengan asam amino atau dengan vitamin C. Vitamin C umumnya hanya terdapat di
dalam pangan nabati, yakni sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk,
nanas, rambutan, pepaya, gandaria, dan tomat. Vitamin C juga banyak terdapat di
dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2000).
7. Gaya Hidup
Gaya hidup merupakan ciri pribadi
yang dimiliki oleh setiap orang. Sebagai ciri atau karakteristik, gaya hidup
banyak berpengaruh terhadap tingkah laku dalam kehidupan individu dan dengan kata
lain, gaya hidup merupakan disposisi atau watak yang melatarbelakangi perilaku,
reaksi atau respon seseorang terhadap diri dan lingkungan yang mempengaruhinya
(Mulyono 1994).
Selanjutnya menurut Sanjur (1982)
dalam Andiyani (2007), gaya hidup adalah hasil pengaruh beragam peubah bebas
yang terjadi di dalam keluarga atau keluarga. Peubah yang membentuk gaya hidup
termasuk penyediaan materi, sifat situasi, kerangka ide budaya dan sifat-sifat
psikologis serta kesehatan.Gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari sekumpulaninteraksi
sosial, budaya, keadaan dan hasil pengaruh beragam variabel bebas yang terjadi di
dalam keluarga atau rumah tangga. Gaya hidup dapat diartikan sebagai cara hidup
masyarakat. Gaya hidup seperti kegiatan merokok, konsumsi alkohol dan aktifitas
fisik turut berperan dalam menentukan status kesehatan (Suharjo 1989).
8. Konsumsi Alkohol
Alkohol merupakan minuman yang hanya
mengandung energi dan bersifat diuretik. Metabolisme alkohol akan membutuhkan
vitamin B1 dan niasin. Sifat diuretik dari alkohol juga akan mengurangi
vitamin-vitamin B, vitamin C, mineral kalsium, kalium, dan magnesium. Minum alkohol
secara berlebihan dapat menurunkan penyerapan asam folat (Anonim 2007). Alkohol
juga akan menurunkan nafsu makan sehingga tubuh terhalang untuk memperoleh asupan
konsumsi gizi seimbang (Anonim 2009 & Khomsan 2002).
9. Riwayat Penyakit
Infeksi dan parasit dapat menyebabkan
anemia melalui peningkatan kehilangan zat gizi terutama besi. Prevalensi anemia
yang tinggi pada laki-laki sering disebabkan karena infeksi dan parasit (Yip
1994). Penyakit-penyakit yang dapat menjadi penyebab anemia antara lain malaria,
HIV, cacing tambang, dan diare kronis.
a. Malaria.
Penyakit malaria dapat menyebabkan
penurunan absorpsi besi selama periode sakit dan dari hasil hemolisis
intravaskuler dapat menyebabkan rendahnya kadar hemoglobin.Plasmodium
falciparum malaria merupakan penyebab utama dari anemia berat pada daerah
Afrika tropis. Malaria berkontribusi sekitar 60% dari semua kasus anemia
tingkat berat pada bayi di Tanzania, sementara kekurangan besi terhitung
sebanyak 30%. Kekurangan besi dan malaria dapat memperberat anemia (Menendez et
al.1994).
b. Infeksi HIV
Infeksi HIV secara kuat berhubungan
dengan anemia, terutama di Afrika dan dapat meningkatkan risiko perkembangan
penyakit lainnya. Lebih dari 70% individu yang AIDS mengalami anemia. Anemia
mungkin disebabkan oleh penyakit kronis; defisiensi zat gizi; ketidakseimbangan
faktor pertumbuhan yang 13 berakibat dari aksi HIV pada makrofag, fibroblas,
dan sel T; infeksi parvovirus B19 yang tidak terkontrol; dan overdosis (Bain
1997).
c. Infeksi Cacing Tambang.
Cacing tambang menginfeksi hampir 1
milyar individu dan menyebabkan kehilangan darah dari mukosa usus (Stephenson
1987). Semakin banyak jumlah cacing tambang, maka semakin banyak darah dan besi
yang hilang. Kehilangan darah akibat infestasi cacing tambang dapat menyebabkan
anemia tingkat sedang dan berat(Gillespie & Johnston 1998). Jumlah cacing
tambang yang cukup banyak dapat menyebabkan kehilangan besi yang lebih banyak dan
kehilangan besi pada feses sebanyak 3.4 mg per hari. Remaja dan dewasa lebih
mudah terinfeksi dibandingkan bayi dan anak-anak (Stephenson 1987).
d. Diare.
Menurut UNICEF (1998), diare dapat
memperberat kejadian anemia. Diare adalah buang air besar dalam bentuk cairan
lebih dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari
atau lebih. Orang dengan HIV sering mengalami diare. Diare dapat menjadi masalah
berat. Diare yang ringan dapat pulih dalam beberapa hari. Namun, diare yang
berat dapat menyebabkan dehidrasi (kekurangan cairan) atau masalah gizi yang
parah.Hal ini membuat tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat
membahayakan jiwa, khususnya pada anak dan orang tua.
10. Citra Tubuh
Citra tubuh adalah keyakinan
individu terhadap tubuhnya, citra tubuh yang negatif dapat menimbulkan suatu
gangguan citra tubuh. Salah satu gangguan citra tubuh adalah overestimation
yaitu mempersepsikan tubuhnya lebih besar dari keadaan yang sesungguhnya.
Hasil penelitian Santy (2006)
menunjukkan bahwa sebanyak 52.6 persen remaja mengalami distorsi persepsi
(overestimation) terhadap tubunya. Citra tubuh yang keliru sering diikuti oleh pembatasan
konsumsi makanan dengan tidak memperhatikan kaidah gizi dan kesehatan.
Akibatnya, asupan gizi secara kuantitas dan kualitas tidak sesuai dengan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan (Santy 2006).
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
1.
Aktivitas/Istirahat
a. Gejala
:
1) Keletihan,
kelemahan, malaise umum
2) Kehilangan
produktivitas penurunan semangat untuk bekerja
3) Toleransi terhadap latihan rendah.
4) Kebutuhan
untuk tidur dan istirahat banyak.
b. Tanda :
1) Takikardia/takipenia
dispenia bekerja atau istirahat.
2) Lelatgi
menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya.
3) Kelemahan
otot dan penurunan kekuatan.
4) Ataksia
tubuh tidak tegak
5) Bahu
menurun, postur tunggal, berjalan lambat dan tanda tanda lain yang menunjukan
keletihan
2. Sirkulasi
a. Gejala
:
1) Riwayat
kehilangan darah kronis, misalnya pendarahan GI kronis mentruasi berat (DB)
angina CHF (akibat kerja jantung berlebihan )
2) Riwayatendokritis
infektif kronis.
3) palpitasi.
(takikardia komponen).
b. Tanda
:
1) TD
peningkatan sisitonik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar :
hipotensi postural
2) Disiritmia
: abnormalistik EKG mis , depresi segemen ST dan pendasftaran atau depresi
gelombang
3) T
: takikardia
4) Bunyi
jantung murmur sistolik (DB)
5) Ekstremitas
(warna) pucat pada kulit dan membran mukosa (konjungtiva mulut faring bibir)
dan dasar kuku. (catatan pada pasien kulit hitam,pucat dapat tampak sebagai keabu abuan), kulit
seperti berlilin,pucat (aplastik, AP) atau kuning lemon terang (PA).
6) Sklera
: biru atau putih seperti mutiara (DB).
7) Pengisian
kapiler melambat (penurunan aliran darah ke perifer dan fasokontriksi
kompensasi). Kuku: mudah patah, berbentuk seperti sendok (koiloniklia) (DB).
8) Rambut
: kering,mudah putus, menipis, tumbur uban secara prematur (AP)
2. Integritas
Ego
a. Gejala
:
Keyakinan agama atau
budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misalnya penolakan transfusi darah.
b. Tanda
:
Depresi
3. Eliminasi
a. Gejala
:
1) Riwayat
pielonifritis , gagal ginjal.
2) Flatulen,
sindrom malabsorbsi (DB).
3) Hematemesis,
feses dengan darah segar, melena.
4) Diare
atau konstipasi .
5) Penurunan
haluaran urine
b. Tanda
:
Distensi abdomen
4. Makanan/Cairan
a. Gejala
:
1) Penurunan
masukan diet, masukan diet protein hewani rendah / masukan produk sereal tinggi ( DB).
2) Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan
(ulkus pada faring ) .
3) Mual/muntah,
dispepsia, anoreksia.
4) Adanya
penurunan berat badan.
5) Tidak
pernah puas mengunyah atau pika untuk es, kotoran, tepung jagung, cat, tanah liat
. (DB)
b. Tanda
:
1) Lidah
tampak merah daging/halus (AP), desfiensi asam folat dan vitamin B12,membran
mukosa kering , pucat.
2) Tugor
kulit : buruk, kering, tampak kisut/hilang elastisitas (DB).
3) Stomatitis
dan glositis (status defisiensi)
4) Bibir : selitis , misalnya Inflamasi bibir dengan
sudut mulut pecah (DB)
5. Hygiene
Tanda :
Tanda :
Kurang bertenaga, penampilan
tak rapih.
6. Neurosensori
a. Gejala
:
1) Sakit
kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinitus, ketidakmampuan berkonsetrasi.
2) Insomnia,
penurunan penglihatan, dan bayangan pada mata.
3) Kelamahan,
keseimbangan buruk, kaki goyah , parastasie tangan atau kaki (AP), klaudikasi
sensasi menjadi dingin.
b. Tanda
:
1) Peka
rangsang, gelisah, depresi, cenderung tidur, apatis.
2) Mental
: tak mampu berespon lambat dan dangkal.
3) Oftalmik
: hemoragis retina (apalastik, ap).
4) Efitaksis,
perdarahan dari lubang lubang ( aplastik) .
5) Gangguan
koordinasi, ataksia : penurunanrasa getar dan posisi dan , tanda romberg
positif, paralisis (ap)
7. Nyeri/
Keamanan
Gejala :
Nyeri abdomen samar,
sakit kepala (DB)
8. Pernapasan
a. Gejala
:
1) Riwayat
TB, abses paru.
2) Napas
pendek pada istirahat dan aktivitas.
b. Tanda
:
Takipnea ortopnea ,dan
dispnea
9. Keamanan
a. Gejala
:
1) Riwayat
pekerjaan terpajan terhadap bahan kimia, misalnya Benzen, insektidia,
fenibulzaton, naftalen
2) Riwayat
terpanjang pada radiasi baik sebagai pengobatan atau kecelakaan
3) Riwayat
kangker
4) Terapi
kanker tidak toleran terhadap dingin/panas.
5) Transfusi
darah sebelumnya
6) Gangguan
penglihatan.
7) Penyembuh
luka buruk sering infeksi
b. Tanda
:
1) Demam
rendah mengigil
2) Berkeringat
malam
3) Limfomadenopati
umum.
4) petekien dan ekomisis (aplastik)
10. Seksualitas
a. Gejala
:
1) Perubahan
aliran nebstruasi misalnya menoragia atau amenore (DB)
2) Hilang
libido (pria/wanita)
3) Imponten.
b. Tanda
:
Serviks dan dinding
vagina pucat.
11. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala :
Gejala :
1) Kecendrungan
keluarga untuk anemia (DB/AP)
2) Penggunaan
antikovulsan masa lalu/saat ini antibiotik agen kemotrapi (gagal sumsum tulang)
aspirin obat antiinflamasi atau antikogulan.
3) Pengguna
alkohol klinis
4) Adanya/berulang
episode pendarahan aktif (DB)
5) Riwayat
penyakit hati ginjal : masalah hematologi penyakit seliak atau penyakit
malabsopsi lain : entrntis regional manifestasi cacing pita polokointrapi
masalah autoimun (mis.,antobodi pada sel pariental faktor intrinsik antibodi
tiroid dan sel T)
6) Pembedahan
sebelumnya misalnya splektomi ekesi tumor pengganti katub prostetik eksis bedah
dedumen atau rekseksi gaster gasterektomi pasrsial /total (DB/AP)
7) Riwayat
adanya masalah dengan penyembuhan luka atau perdarahan infeksi kronis penyakit
granumolatus kronis atau kangker ( sekunder anemia )
12. Pertimbangan
Rencana Pemulangan :
Rencana Pemulangan :
Dapat memerlukan bantuan
dalam pengobatan (injeksi) aktivitas perawatan diri dan atau pemeliharaan rumah
perubahan rencana diet
B.
Diagnosa
Keperawatan
Berdasarkan patofisiologi
di atas ditemukan diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1. Perubahan
Perfusi Jaringan berhubungan dengan Penurunan komponen selular yang diperlukan
untuk pengiriman oksigen/nutrisi ke sel.
2. Intoleran
Aktivitas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara suplasi oksigen
(pengiriman) dan kebutuhan.
3. Perubahan
Nutrisi: Kurang Dari kebutuhan Tubuh berhubungan denganKegagalan untuk mencerna
atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi Nutrient yang diperlukan untuk
pembentukan sdm normal.
4. Integritas
Kulit, Kerusakan, Risiko Tinggi Terhadap berhubungan dengan Perubahan sirkulasi
dan neurologis ( anemia ) / Gangguan mobilitas / Defisit nutrisi
5. Konstipasi
Atau Diare berhubungan dengan Penurunan masukan diet / Perubahan proses
pencernaan / Efek samping terapi obat
6. Infeksi,
Risiko Tinggi Terhadap berhubungan dengan Pertahanan sekunder (tidak adekuat
misalnya penurunan hemoglobin leukopenia, atau penurunan granulosit (respons
inflamasi tertekan)
7. Kurang
Pengetahuan (Kebutuhan Belajar) Tentang Kondisi Prognosis, Dan Kebutuhan
Pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat/ Salah interpretasi
informasi.
C.
Rencana
Keperawatan
1.
Perubahan Perfusi Jaringan
Dapat
dihubungkan dengan :
Penurunan
komponen selular yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrisi ke sel.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
a. Palpitasi,angina,kulit
pucat, membran mukosa, kering, kuku, dan rambut rapuh.
b. Ekstremitas
dingin penularah haluaran urine mual/muntah distensi abdomen perubahan TD
pengisi kapiler lambat ketidak mampuan berkonsisten disorientasi
Hasil yang diharapkan
kriteria evaluasi pasien akan :
Menunjukan perfusi
adekuat misalnya tanda vital stabil membran mukosa warna merah muda pengisisan
kapiler baik, haluran urine adekuat mental seperti biasa.
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
:
|
|
1. awasi
tanda vital kaji pengisian kapiler, warna kulit/membran mukosa dasar kuku.
|
Memberikan informasi tentang
derajat/kekuatan perfusi jaringan dan membantu menemukan kebutuhan intervensi
|
2. Tinggikan
kepala tempat tidur sesuai toleransi
|
meningkat
ekspensi paru dan memaksimalkan oksigen untuk kebutuhan selular. Catatan
kontraindikasi bila ada hipotensi.
|
3. awasi
upaya pernapasan : auskultasi bunyi napas berhentikan adventisius
|
dispenia
generic menunjukan GJK kerena rengangan jantung lama/peningkatan kompensi
curah jantung.
|
4. Selidiki
keluhan nyeri dada palpasi,
|
Iskemia
selular mempengaruhi jaringan miokardial/protensial risiko infark
|
5. Kaji
untuk respon verbal melambat mudah terangsang agitasi gangguan memori
binggung.
|
Dapat
mengidentifikasi gangguan fungsi serebral karena hipoksia atau defisiensi
vitamin B12
|
6. Orientasi/orientasikan
ulang pasien sesuai kebutuhan catat jadwal aktivitas pasien berpikir
komunikasi dan aktivitas.
|
membantu
memperbaiki proses pikir dan kemampuan melakukan / mempertahankan kebutuhan
AKS.
|
7. Catat
keluhan rasa dingin pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangan sesuai
indikasi.
|
vasokontriksi
(Ke organ vital) menurunkan sirkulasi perifer. Kenyamanan pasien/kebutuhan
rasa hangat harus seimbang dengan kebutuhan untuk menghindari panas
berlebihan pencetus vasodilatasi (Penurunan Fungsi Organ)
|
8. Hindari
penggunaan bantalan penghangat atau botol air panas. Ukur suhu air mandi
dengan thermometer
|
Termostrap
jaringan dermal dangkal karena gangguan oksigen.
|
Kolaborasi :
|
|
9. Awasi
pemeriksaan laboraturium mis.Hb/Ht dan jumlah SDM,GDA
|
Mengidentifikasi
definisi dan kebutuhan pengobatan respon terhadap terapi.
|
10. Berikan
SDM darah lengkap/packed produk darah sesuai indikasi. Awasi ketat untuk
komplikasi transfusi.
|
meningkatkan
jumlah sel pembawa oksigen ; memperbaiki definisi untuk Menurunkan resiko
pendarahan,
|
11. Berikan
oksigen tambahan sesuai indikasi
|
Maksimal
transpor oksigen kejaringan.
|
12. Siapkan
intervensi pembedahan sesuai indikasi
|
Transplasi
sumsum tulang belakang pada kegagalan tulang/anemia plastrik
|
2.
Intoleran Aktivitas
Dapat dihubungin dengan :
Dapat dihubungin dengan :
Ketidakseimbangan
antara suplasi oksigen (pengiriman ) dan kebutuhan.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Kemungkinan dibuktikan oleh :
a. Kelemahan
dan kelelahan
b. Mengeluh
penurunan toleransi aktivitas/latihan
c. Lebih
banyak memerlukan istirahat tidur.
d. Palpitasi,
takkikardia, peningkatan tekanan darah atau respons pernapasan dengan kerja
ringan
Kriteria
Hasil yang diharapkan :
a. Melaporkan
peningkatan toleransi aktivitas (termasu aktivitas sehari hari )
b. menunjukan
penurunan tanda fisiologi intoleransi misalnya nadi pernapasan dan TD masih
dalam rentang normal pasien
Intervesi
|
Rasional
|
1. Kaji
kemampuan pasien untuk melakukan tugas/AKS normal catat laporan kelelahan,
dan kesulitan menyelesaikan tugas.
|
Mempengaruhi pilihan intervensi /bantuan
|
2. Kaji
kehilangan / gangguan keseimbangan gaya jalan kelemahan otot.
|
Menunjukan perubahan neurologi karena
defisiensi vitamin B12 mempengaruhi kemampuan pasien/ resiko cedera.
|
3. Awasi
TD nadi, pernapasan selama dan susadah aktivitas catat respon terhadap
tingkat aktivitas (misalnya Peningkatan denyut jantung disritmia, pusing,
dispnea, takipnea dan sebagainya)
|
Manifestasi
kardio pulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen
adekuat kejaringan.
|
4. Berikan
lingkup tenang. Pertahankan tirah baring bila didasarkan pantau dan bastasi
pengunjung, telepon dan gangguan berulang tindakan yang tidak direncanakan.
|
Meningkat
istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan renganan
jantung dan paru.
|
5. Ubah
posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
|
Hipotensi postirual atau hipoksida
sebral dapat menyebabkan pusing berdenyut dengan peningkatan cedera.
|
6. Prioritas
jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat. Periode istirahat
dengan periode aktivitas.
|
Mempertahankan tingkat energi dan
meningkat regangan pada pasien sisitem jantung dan pernapasan.
|
7. Berikan
bantuan dalam aktivitas/ambulanisasi bila perlu kemungkinan pasien untuk
melakukan sebanyak mungkin.
|
Membantu
bila perlu harga diri tingkat bila pasien melakukan sesuatu sendiri.
|
8. Rencanakan
kemajuan aktivitas dengan pasien, termasuk aktivitas pasien yang pandang
perlu. Tingkat tingkat aktivitas sesuai toleransi.
|
Meningkat secara bertahap tingkat
aktivitas sampai normal dan memperbaiki tonus/otot /stamina tanpa kelemahan
meningkat harga diri dan rasa terkontrol.
|
9. Gunakan
teknik penghematan energi mis. Mandi dengan duduk untuk melakukan tugas-tugas
|
Mendorong pasien melakukan banyak dengan
membatasi penyimpangan energi dan mencegah kelemahan.
|
10. Anjurkan
pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi nyeri dada, napas pendek,
kelemahan atau pusing terjadi.
|
Regang/
stres kardiopulmonal berlebihan /stres dapat menimbulkan dekompensasi
/kegagalan.
|
3. Perubahan
Nutrisi : Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
Dapat
dihubungkan dengan:
Kegagalan
untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi Nutrient yang diperlukan
untuk pembentukan sel darah merah normal.
Kemungkinan
dibuktikan oleh:
a. Penurunan
berat badan/berat badan dibawah normal untuk usia, tinggi, dan bangun badan.
b. Penurunan
lipatan kulit trisep.
c. Perubahan
gusi, membrane mukosa mulut.
d. Penurunan
toleransi untuk aktivitas, kelemahan, dan kehilangan tonus otot.
Hasil
yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
a. Menunjukkan
peningkatan berat badan atau berat badan stabil dengan nilai laboratorium
normal.
b. Tidak
mengalami tanda malnutrisi.
c. Menunjukan
perilaku, perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat
badan yang sesuai.
Intervensi
|
Rasiomal
|
Mandiri
|
|
1.
Kaji riwayat nutrisi, termasuk
makanan yang disukai.
|
Mengidentifikasi
defisiensi, menduga kemungkinan intervensi.
|
2. Observasi
dan catat masukan makanan pasien.
|
Mengawasi
masukan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan.
|
3.
Timbang berat badan tiap hari.
|
Mengawasi
penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi.
|
4. Berikan
makan sedikit dan frekuensi sering dan atau makan diantara waktu makan.
|
Makan
sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan pemasukan juga mencegah
distensi gaster.
|
5.
Observasi dan catat kejadian
mual/muntah, flatus, dan gejala lain yang berhubungan.
|
Gejala
GI dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ.
|
6.
Berikan dan bantu hygiene mulut
yang baik, sebelum dan sesudah makan, gunakan sikat gigi halus untuk
penyikatan yang lembut.
|
Meningkatkan
nafsu makan dan pemasukan oral, menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan
kemungkinan infeksi.
|
7.
Berikan pencuci mulut yang
diencerkan bila mukosa oral luka.
|
Teknik
perawatan mulut khusus mungkin diperlukan bila jaringan rapuh/luka/perdarahan
dan nyeri berat.
|
Kolaborasi
|
|
8.
Konsul pada ahli gizi.
|
Membantu
dalam membuat rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual.
|
9.
Pantau pemeriksaan laboratorium,
mis. Hb/ht, bun, al-bumin, protein, transferin, besi serum, b12,
asam folat, tibc, elektrolit serum.
|
Meningkatkan
efektivitas program pengobatan, termasuk sumber diet nutrisi yang dibutuhkan
|
10.
Berikan obat sesuai indikasi, misalnya
: vitamin dan suplemen mineral, misalnya sianokobalamin (vitamin B12),
asam folat (Flovite), asam askorbat (vitamin C).
|
Kebutuhan
penggantian tergantung pada tipe anemia dan atau adanya masukan oral yang
buruk dan defisiensi yang diidentifikasi.
|
11. Beri
dextran (IM/IV).
|
Diberikan
sampai deficit diperkirakan teratasi dan disimpan untuk yang tak dapat
diabsorsi atau terapi besi oral, bila kehilangan darah terlalu cepat untuk
penggantian oral menjadi efektif.
|
12.
Tambahan besi oral, misalnya fero sulfat (Feosol), fero
glukonat (Fergon)
|
Mungkin
berguna pada beberape tipe anemia defisisensi besi
|
13.
Asam hidroklorida (HCI).
|
Mempunyai
sifat absorpsi vitamin B12 selama minggu pertama terapi.
|
14.
Antijamur atau pencuci mulut
anestetik jika diindikasi.
|
Mungkin
diperlukan pada adanya stomatitis/glositis untuk meningkatkan penyembuhan
jaringan mulut dan memudahkan masukan.
|
15.
Berikan diet halus, rendah serat,
menghindari makanan panas, pedas, atau terlalu asam sesuai indikasi.
|
Bila
ada lesi oral, nyeri dapat membatasi tipe makanan yang dapat ditoleransi
pasien
|
16.
Berikan suplemen nutrisi misalnya Ensure,
Isocal.
|
Meningkatkan
masukan protein dan kalori.
|
4. Integritas
Kulit, Kerusakan, Risiko Tinggi Terhadap
Faktor risiko meliputi:
a. Perubahan
sirkulasi dan neurologis ( anemia )
b. Gangguan
mobilitas
c. Defisit
nutrisi
Kemungkinan
dibuktikan oleh:
(tidak
dapat diterapkan, adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnose Actual)
Hasil
yang diharapkan/criteria evaluasi pasien akan:
a. Mempertahankan
integritas kulit
b. Mengidentifikasi
factor risiko/ perilaku/ individu untuk mencegah cedera dermal
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
|
|
1. Kaji
integritas kulit, catat perubahan pad turgor, gangguan warna, hangat local,
eritema, ekskoriasi.
|
Kondisi
kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi, dan imobilisasi.
|
2. Ubah
posisi secara periodic dan pijat permukaan tulang bila pasien tidak bergerak
atau di tempat tidur.
|
Jaringan
dapat menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi dan rusak.
|
3. Ajarkan
permukaan kulit kering dan bersih. Batasi penggunaan sabun.
|
Area
kulit membatasi iskemia jaringan/mempengaruhi hipoksia seluler.
|
4. Bantu
untuk latihan rentang gerak pasif atau aktif.
|
Area
lembab, terkontaminasi memberikan media yang sangat baik untuk pertumbuhan
organisme patogenik. Sabun dapat mengeringkan kulit secara berlebihan dan
meningkatkan iritasi.
|
Kolaborasi
|
|
5. Gunakan
alat pelindung, misalnya kulit domba, keranjang, kasur tekanan udara/air,
pelindung tumit/siku, dan bantal sesuai indikasi.
|
Meningkatkan
sirkulasi jaringan, mencegah stasis. Menghindari kerusakan kulit dengan
mencegah/menurunkan tekanan terhadap permukaan kulit.
|
5. Konstipasi
Atau Diare
Dapat dihubungkan:
a. Penurunan
masukan diet
b. Perubahan
proses pencernaan
c. Efek
samping terapi obat
Kemungkinan
dibuktikan oleh:
a. Perubahan
pada frekuensi, karakteristik, dan jumlah feses.
b. Mual/muntah,
penurunan napsu makan
c. Laporan
nyeri abdomen tiba-tiba, kram.
d. Gangguan
bunyi usus.
Hasil
yang diharapkan/ kriteria evaluasi pasien akan:
a. Membuat/kembali
pola normal dari fungsi usus
b. Menunjukan
perubahan perilaku/ pola hidup, yang diperlukan sebagai penyebab, faktor
pemberat.
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
|
|
1. Observasi
warna feses, konsistensi, frekuensi, dan jumlah.
|
Membantu
mengidentifikasi penyebab/ faktor pemberat dan intervensi yang tepat.
|
2. Auskultasi
bunyi usus.
|
Bunyi
usus secara umum meningkat pada diare dan menurun pada konstipasi.
|
3. Awasi
masukan dan haluaran dengan perhatian khusus pada makanan/ cairan
|
Dapat
mengidentifikasi dehidrasi, kehilangan berlebihan atau alat dalam
mengidentifikasi defisiensi diet.
|
4. Dorong
masukkan cairan 2500-3000 ml/hari dalam toleransi jantung.
|
Membantu dalam memperbaiki konsistensi
feses bila konstipasi. Akan membantu mempertahankan status hidrasi pada
diare.
|
5. Hindari
makanan yang membentuk gas.
|
Menurunkan
distress gastric dan distensi abdomen.
|
6. Kaji
kondisi kulit perianal dengan sering, catat perubahan dalam kondisi kulit
atau mulai kerusakkan. Lakukan perawatan perianal setiap defekasi bila
terjadi diare.
|
Mencegah ekskorisi kulit dan kerusakan.
|
Kolaborasi
7. Konsul
dengan ahli gizi untuk memberikan diet seimbang dengan tinggi serat dan bulk.
|
Serat menahan enzim pencernaan dan
mengabsorpsi air dalam alirannya sepanjang traktus intestinal dan dengan
demikian menghasilkan bulk, yang bekerja sebagai perangsang untuk defekasi
|
8. Berikan
pelembek feses, stimulant ringan, laksatif pembentuk bulk, atau enema sesuai
indikasi. Pantau keefektifan.
|
Mempermudah defekasi bila konstipasi
terjadi.
|
9. Berikan
obat antidiare misalnya difenoxilat hidroklorida dengan atropn (Lomotil) dan
obat pengabsorpsi air., misalnya Metamucil.
|
Menurunkan motilitas usus bila diare
terjadi.
|
6. Infeksi,
Risiko Tinggi Terhadap
Faktor
risiko meliputi:
a. Pertahanan
sekunder (tidak adekuat mis: penurunan hemoglobin leukopenia, atau penurunan
granulosit (respons inflamasi tertekan)
b. Pertahanan
utama tidak adekuat misalnya kerusakan kulit, stasis cairan tubuh, prosedur
invasive, penyakit kronis, malnutrisi
Kemungkinan
dibuktikan oleh:
Tidak
dapat diterapkan adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa actual
Hasil
yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
a. Mengidentifikasi
perilaku untuk mencegah/ menurunkan risiko infeksi
b. Meningkatkan
penyembuhan luka, bebas drainase purulen atau eritema, dan demam.
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
|
|
1. Tingkatkan
cuci tangan yang baik oleh pemberi perawatan dan pasien.
|
Mencegah
kontaminasi silang/ kolonisasi bacterial. Catatan: pasien dengan anemia
berat/ aplastik dapat berisiko akibat flora normal kulit.
|
2. Pertahankan
teknik aseptic ketat pada prosedur/perawatan luka.
|
Menurunkan
risiko kolonisasi/infeksi bakteri.
|
3. Berikan
perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat.
|
Menurunkan risiko kerusakan kulit/ jaringan
dan infeksi
|
4. Dorong
perubahan posisi/ambulasi yang sering, latihan batuk, dan napas dalam
|
Meningkatkan ventilasi semua segmen paru
dan membantu memobilisasi sekresi untuk mencegah pneumonia.
|
5. Tingkatkan
masukan cairan adekuat
|
Membantu dalam pengenceran secret
pernapasan untuk mempermudah pengeluaran dan mencegah statis cairan tubuh
(misalnya pernapasan dan ginjal).
|
6. Pantau/
batasi pengunjung. Berikan isolasi bila memungkinkan. Batasi tumbuhan hidup/
bunga potong.
|
Membatasi pemajanan pada bakteri/
infeksi. Perlindungan isolasi dapat dibutuhkan pada anemia aplastik, bila
respons imun sangat terganggu.
|
7. Pantau
suhu. Catat adanya menggigil dan takikardia dengan atau tanpa demam.
|
Adanya proses inflamasi/infeksi
membutuhkan evaluasi/pengobatan
|
8. Amati
eritema/cairan luka
|
Indikator infeksi lokal. Catatan:
pembentukan pus mungkin tidak ada bila granulosit tertekan.
|
Kolaborasi
|
|
9. Ambil
specimen untuk kultur/ sensitivitas sesuai indikasi.
|
Membedakan adanya infeksi,
mengidentifikai pathogen khusus dan mempengaruhi pilihan pengobatan.
|
10. Berikan
antiseptik topikal, antibiotic sistemik
|
Mungkin
digunakan secara propilaktik untuk menurunkan kolonisasi atau untuk
pengobatan proses infeksi local
|
7. Kurang
Pengetahuan (Kebutuhan Belajar) Tentang Kondisi Prognosis, Dan Kebutuhan
Pengobatan
Dapat
dihubungkan dengan:
a. kurang
terpajan/mengingat.
b. Salah
interpretasi informasi.
c. Tidak
mengenal sumber informasi.
Kemungkinan
dibuktikan oleh:
a. Pertanyaan,
meminta informasi.
b. Pernyataan
salah konsepsi.
c. Tidak
akurat mengikuti instruksi.
d. Terjadi
komplikasi yang dapat di cegah.
Hasil
yang diharapkan/ criteria evaluasi pasien akan:
a. Menyatakan
pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostic, dan rencana pengobatan.
b. Mengidentifikasi
faktor penyebab.
c. Melakukan
tindakan yang perlu / perubahan pola hidup.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Berikan
informasi tentang anemia spesifik. Diskusikan kenyataan bahwa terapi
tergantung pada tipe dan beratnya anemia
|
Memberikan
dasar pengetahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan yang tepat.
Menurunkan ansietas dan dapat meningkatkan kerjasama dalam program terapi
|
2. Tinjau
tujuan dan persiapan untuk pemeriksaan diagnostic
|
Ansietas/
takut tentang ketidaktahuan meningkatkan tingkat stress, yang selanjutnya
meningkatkan beban jantung. Pengetahuan tentang apa yang diperkirakan
menurunkan ansietas
|
3. Jelaskan
bahwa darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium tidak akan memperburuk
anemia
|
Ini
sering merupakan kekuatiran yang tidak diungkapkan yang dapat memperkuat
ansietas pasien
|
4. Tinjau
perubahan diet yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan diet khusus
(ditentukan oleh tipe anemia/ defisiensi)
|
Daging
merah, hati, kuning telur, sayuran berdaun hijau, biji bersekam dan buah yang
dikeringkan adalah sumber besi. Sayuran hijau, hati, dan buah asam adalah
sumber asam folat dan vitamin C (meningkatkan absorpsi besi)
|
5. Kaji
sumber-sumber (misalnya keuangan dan memasak)
|
Sumber
tidak adekuat dapat mempengaruhi kemampuan untuk membuat/ menyiapkan makanan
yang tepat
|
6. Dorong
untuk menghentikan merokok
|
Menurunkan
ketersediaan oksigen dan menyebabkan vasokontriksi
|
7. Instrusikan
dan peragakan pemberian mandiri preparat besi oral
|
Penggantian
besi biasanya membutuhkan waktu 3-6 bulan sementara injeksi vitamin B12
mungkin perlu untuk selama hidup pasien
|
8. Diskusikan
pentingnya hanya meminum obat yang diresepkan
|
Kelebihan
dosis obat besi dapat menjadi toksik
|
9. Sarankan
minum obat dengan makanan atau segera setelah makan
|
Besi
paling baik diabsorpsi pada lambung kosong. Namun garam besi merupakan iritan
lambung dan dapat menyebabkan dyspepsia, diare, dan distensi abdomen bila
diminum saat lambung kosong
|
10. Encerkan
preparat cair (lebih baik dengan sari jeruk) dan diberikan dengan sedotan
|
Besi
yang tak dilarutkan dapat menempel di gigi. Asam askorbat meningkatkan
absorpsi besi
|
11. Peringatkan
bahwa feses dapat tampak hitam kehijauan
|
Pengeluaran
besi berlebihan akan mengubah warna feses
|
12. Tekankan
pentingnya memelihara kebersihan mulut
|
Suplemen
besi tertentu (misalnya feosol) dapat meninggalkan sisa pada gigi dan gusi
|
13. Instruksikan
pasien/ orang terdekat tentang pemberian besi parenteral
|
Mencegah
ekstravasasi (kebocoran) dengan nyeri yang menyertai
|
14. Pemberian
obat dengan Z-track
|
Obat dapat mewarnai kulit
|
15. Gunakan
jarum terpisah untuk mengambil obat dan injeksi
|
Kemungkinan
efek samping terapi memerlukan evaluasi ulang untuk pilihan dan dosis obat
|
16. Peringatkan
tentang kemungkinan reaksi sistemik, (misalnya kemerahan pada wajah, muntah,
mual, mialgia) dan diskusikan pentingnya melaporkan gejala
|
Penurunan
produksi lekosit potensial risiko untuk infeksi, catatan. Cairan purulen
bukan bentuk abses granulosit (aplastik)
|
17. Diskusikan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi, tanda/gejala yang memerlukan
intervensi medis, misalnya demam, sakit tenggorok: eritema/ luka basah, urine
berkabut, rasa terbakar saat defekasi
|
Menurunkan
risiko perdarahan dari jaringan yang rapuh
|
18. Identifikasi
masalah keamanan, misalnya bukti meniup hidung dengan keras, olahraga kontak,
konstipasi/ feses keras, penggunaan pencukur elektrik, sikat gigi halus
|
Efek
anemia (lesi oral) dan atau suplemen besi meningkatkan risiko
infeksi/bakterimia
|
19. Telaah
kebersihan mulut, pentingnya perawatan gigi teratur
|
Meningkatkan
kecenderungan perdarahan
|
20. Instruksikan
untuk menghindari produk aspirin
|
Mungkin
memerlukan bantuan dengan persiapan makan/ penjual makanan
|
D.
Implementasi
( Menurut Smeltzer, Suzanne C. )
Pendidikan dan pencegahan kepada
pasien
Pendidikan dan pencegahan sangat
penting karena defisien besi sangat sering pada wanita menstruasi dan hamil.
Sumber makanan tinggi besi meliputi daging organ (hati sapi, ayam atau anak
sapi), daging lainnya, kacang-kacangan (black,
pinto dangarbazo), sayuran hijau, kismis, dan sirup manis, makan-makanan
kaya-besi bersama dengan sumber vitamin C akan meningkatkan absorbs. Antasida
tidak boleh dimakan bersama besi karena fosfat akan membentuk kompleks dengan
besi.
Pemilihan diet seimbang
sangat dianjurkan. Bimbingan nutrisi perlu diberikan kepada mereka yang di
abnormalnya tidak adekuat. Pasien yang mempunyai riwayat “nyemil” perlu bombing
bahwa diet semacam ini tidak mengandung cukup besi yang dapat diabsorbsi.
Pada beberapa kasus,
pemberian besi dekstran IM dan IV perlu diresepkan, artinya, apabila besi oral
tidak dapat diabsorbsi atau tidak dapat ditoleransi atau apabila dibutuhkan
sejumlah besar besi. Lebih disukai rute IV. Injeksi IM mengakibatkan nyeri
lokal, dan dapat menimbulkan pewarnaan kulit. Besi dekstran harus diinjeksikan
dalam-dalan pada masing-masing pantat menggunakan teknik Z-track. Sebelum
pemberian dosis penuh secara parenteral, perlu diberikan percobaan dengan dosis
kecil untuk menghindari risiko anafilaksis, yang lebih sering pada injeksi IM
dibandingkan injeksi IV.
Pada pasien anemia
defisiensi-besi didorong untuk melanjutkan terapi sepanjang yang diresepkan,
meskipun mungkin mereka tidak mengalami kelemahan. Apabila suplemen besi
menimbulkan keluhan lambung, pasien dinasehati untuk menelannya bersama makanan
sampai gejala menghilang, dan kemudian kembali pada jadwal di antara waktu
makan agar
absorbsinya maksimum.
Pasien harus diberi
informasi bahwa garam besi sering merubah warna tinja menjadi hijau gelap atau
hitam. Besi bentuk cair dapat mewarnai gigi; maka pasien dinasehati untuk minum
obat ini dengan sedotan, dan membilas mulut dengan air, serta melaksanakan
hygiene mulut yang baik. Karena sulfat ferosus cenderung dideposisi di gigi dan
gusi, pasien harus dinasehati untuk melakukan upaya higine mulut sesering
mungkin.
E.
Evaluasi
( Menurut Smeltzer, Suzanne C. )
Hasil yang Diharapkan :
1. Mampu
bertoleransi dengan aktivitas normal
Mengikuti
rencana (progresif istrahat, aktivitas, dan latihan.)
2. Mencapai
atau mempertahankan nutrisi yang adekuat
a. Makan
makanan tinggi protein, kalori dan vitamin
b. Menghindari
makanan yang menyebabkan iritasi lambung
c. Mengembangkan
rencana makan yang memperbaiki nutrisi optimal
3. Tidak
mengalami komplikasi
a. Menghindari
aktivitas yang memyebabkan palpitasi, pusing, dan dispnu
b. Mempergunakan
upaya istrahat dan kerja untuk mengurangi dispnu
c. Mempunyai
tanda-tanda vital normal
d. Tidak
mengalami tanda retensi cairan (curah urin berkurang, distensi vena leher)
e. Berorientasi
terhadap nama, waktu, dan tempat situasi
f. Tetap
bebas dari cedera
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sel
darah merah adalah sel darah yang paling banyak yang berada dalam tubuh kita
yang membawa oksigen dan zat-zat lainnya dimana sel darah merah merupakan
sel-sel mikroskopis dan tidak memiliki inti sel. Sel darah merah memerlukan
protein karena strukturnya terbentuk dari asam amino. Sel darah merah juga
memerlukan zat besi, sehingga untuk membentuk penggantinya diperlukan diet
seimbang yang berisi zat besi. Wanita memerlukan lebih banyak zat besi karena
beberapa di antaranya dibuang sewaktu menstruasi. Sewaktu hamil diperlukan
banyak lagi untuk perkembangan janin dan pembuatan susu. Sel darah merah
dibentuk dalam sumsum tulang, terutama dari tulang pendek, pipih, dan tak
beraturan, dari jaringan kanselus pada ujung tulang pipa, dari sumsum dalam
batang iga-iga, dan dari sternum. Perkembangan sel darah dalam sumsum tulang
melalui berbagai tahap : mula-mula besar dan berisi nucleus, tetapi tidak ada
hemoglobin. Kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya,
kemudian baru diedarkan ke dalam sirkulasi darah. Rata-rata panjang hidup darah
merah kira-kira 115 hari. Sel menjadi usung dan dihancurkan dalam system
retikulo-endotelial, terutama dalam limpa dan hati. Globin dari hemoglobin
dipecah menjadi asam amino untuk digunakan sebagai protein dalam pembentukan
sel darah merah lagi. Sisa hem dari hemoglobin diubah menjadi bilirubin (pigmen kuning) dan biliverdin yang berwarna kehijau-hijauan
dan dapat dilihat pada perubahan warna hemoglobin yang rusak pada luka memar. Bila
terjadi perdarahan maka sel merah dengan hemoglobinnya sebagai pembawa oksigen,
hilang. Pada perdarahan sedang, sel-sel itu diganti dalam waktu beberapa minggu
berikutnya. Tetapi bila kadar hemoglobin turun sampai 40% atau dibawahnya, maka
diperlukan tranfusi darah.
Anemia adalah
gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, eleman
tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah
yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah dan
ada banyak tipe
anemia dengan beragam penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 1999).
Anemia defisiensi besi adalah
anemia yang disebabkan oleh kurangnya mineral FE sebagai bahan yang diperlukan
untuk pematangan eritrosit (Arif Mansjoer, kapita selekta, jilid 2 edisi 3,
Jakarta 1999). Anemia secara umum adalah turunnya kadar sel darah merah atau
hemoglobin dalam darah.
Pengkajian yang utama
pada klien dengan gangguan anemia defisiensi besi yaitu meliputi pengkajian
data dasar aktivitas, sirkulasi, makanan, integritas ego, pernapasan dan
seksualitas. Diagnosa keperawatan pada penderita anemia defisiensi besi yaitu
meliputi Perfusi Jaringan Perubahan berhubungan dengan Penurunan komponen
selular yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrisi ke sel. Intoleran
Aktivitas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara suplasi oksigen
(pengiriman) dan kebutuhan. Nutrisi, Perubahan: Kurang Dari kebutuhan Tubuh
berhubungan denganKegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna
makanan/absorbsi Nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sdm normal. Integritas
Kulit, Kerusakan, Risiko Tinggi Terhadap berhubungan dengan Perubahan sirkulasi
dan neurologis (anemia \) / Gangguan mobilitas / Defisit nutrisi. Konstipasi
Atau Diare berhubungan dengan Penurunan masukan diet / Perubahan proses
pencernaan / Efek samping terapi obat. Infeksi, Risiko Tinggi Terhadap
berhubungan dengan Pertahanan sekunder (tidak adekuat mis: penurunan hemoglobin
leukopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan). Kurang
Pengetahuan (Kebutuhan Belajar) Tentang Kondisi Prognosis, Dan Kebutuhan
Pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat /Salah interpretasi
informasi.
B.
Saran
Perawat
harus sigap dalam penanganan penyakit Anemia defisiensi besi, karena akan
menjadi fatal jika terlambat menanganinya. Selain itu perawat juga harus mampu
memberikan health education kepada klien dan keluarga agar mereka paham dengan
penyakit anemia defisiensi besi dan bagaimana cara pengobatannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin Huda Nurarif. 2015. Aplikasi
Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta :
Mediaction
Doenges, Marilynn E.
1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC
Dr. Lyndon Saputra. 2011.
Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Tangerang: Binapura Aksara
Sherwood, Lauralee. 2001.
Fisiologi Manusia: dari sel ke system. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta : EGC