Minggu, 08 Januari 2017

Asuhan Keperawatan Anemia Defisiensi Besi



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sel darah merah adalah sel darah yang paling banyak yang berada dalam tubuh kita yang membawa oksigen dan zat-zat lainnya dimana sel darah merah merupakan sel-sel mikroskopis dan tidak memiliki inti sel. Selain itu penyakit kelainan atau kekurangan sel darah merah merupakan penyakit yang sering terjadi diseluruh dunia. Salah satunya yaitu anemia defisiensi besi, yang akhir-akhir ini semakin meningkat frekuensinya. Dibeberapa Negara, meliputi Afrika, Amerika, Eropa dan sebagian besar di Asia.  Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya mineral FE sebagai bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit.

Anemia defisiensi besi pada ibu hamil masih merupakan penyebab utama angka kematian ibu diseluruh dunia. Menurut WHO (2008), secara global prevalensi anemia pada ibu hamil di seluruh dunia adalah sebesar 41,8 %. Prevalensi anemia pada ibu hamil diperkirakan di Asia sebesar 48,2 %, Afrika 57,1 %, Amerika 24,1 %, dan Eropa 25,1 %. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia sebesar 37,1 %. Pemberian tablet Fe di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 85 %. Presentase ini mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2011 yang sebesar 83,3 %. Meskipun pemerintah sudah melakukan program penanggulangan anemia pada ibu hamil yaitu dengan memberikan 90 tablet Fe kepada ibu hamil selama periode kehamilan dengan tujuan menurunkan angka anemia ibu hamil, tetapi kejadian anemia masih tinggi. (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Anemia sering kali disebabkan oleh kurangnya kandungan zat besi dalam makanan, penyerapan zat besi dari makanan yang sangat rendah, adanya zat-zat yang menghambat penyerapan zat besi, dan adanya parasit di dalam tubuh seperti cacing tambang atau cacing pita, atau kehilangan banyak darah akibat kecelakaan atau operasi (Arumsari dkk, 2008).
Anemia pada kehamilan merupakan salah satu masalah nasional karena mencerminkan nilai kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan pengaruhnya sangat besar terhadap kualitas sumber daya manusia. Anemia pada ibu hamil disebut “ Potensial danger to mother and child ” (potensial membahayakan ibu dan anak). Oleh karena itulah anemia memerlukan perhatian serius dari semua pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan (Manuaba, 2007).
Kematian ibu dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya karena anemia. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia relatif tinggi yaitu sebesar 262 per 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2005). Ini berarti setiap jam ada 1 ibu yang meninggal karena proses kehamilan dan persalinan. Padahal Angka 2 Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu negara. Seorang wanita hamil yang memiliki kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11g % disebut anemia. Kekurangan zat besi pada wanita hamil merupakan penyebab penting yang melatarbelakangi kejadian morbiditas dan mortalitas, yaitu kematian ibu pada waktu hamil dan pada waktu melahirkan atau nifas sebagai akibat komplikasi kehamilan. Sekitar 20 % kematian maternal di negara berkembang disebabkan oleh anemia defisiensi besi.
Beberapa komplikasi yang dapat timbul diantaranya, Gagal jantung kongesif Parestesia, Konfungsi kanker, Penyakit ginjal, Gondok, Gangguan pembentukan heme, Penyakit infeksi kuman, Thalasemia, Kelainan Jantung, Rematoid, Meningitis dan Gangguan sistem imun. Sedangkan anemia komplikasi anemia pada ibu hamil diantaranya, Keguguguran ( Abortus ), Kelahiran prematurs, Persalinan yang lama akibat kelelahan otot rahim di dalam berkontraksi ( inersia utari ), Perdarahan akibat tidak adanya kontraksi otot rahim ( atonia uteri ), Syok, Infeksi saat bersalin maupun pasca bersalin, Hipoksia – Anemia yang berat yaitu  < 4 gram dapat menyebabkan dekompensasi kordis. Akibat anemia ini, dapat menyebabkan syok dan kematian pada ibu saat persalinan.
Segera hubungi dokter untuk mendapatkan penangan sebelum kondisi kesehatan bertambah parah dan memicu penyakit komplikasi. Dalam hal ini perawat memiliki peran dalam membantu pasien dengan penyakit anemia defisiensi besi, diataranya : Perawat sebagai tenaga Promotif yaitu yaitu melakukan penyuluhan kesehatan terhadap pasien. Dengan meningkatkan kesehatan pasien agar tidak terjadi komplikasi atau akibat lanjut dari anemia defisiensi besi. Perawat sebagai tenaga Preventif yaitu mencegah agar pasien tersebut tidak mengalami komplikasi, yaitu dengan memberikan asuhan keperawatan pada pasien tersebut dengan tepat. Perawat sebagai tenaga Kuratif yaitu memberikan tindakan pengobatan terhadap pasien anemia difesiensi besi. Pengobatan ini dilakukan secara kolaboratif dengan dokter dan farmasi. Perawat sebagai tenaga Rehabililitatif yaitu sebagai pusat tenaga rehabilitasi terhadap pasien, yaitu dengan cara memberikan pendidikan kesehatan tentang anemia defisiensi besi.
Alasan kelompok membahas penyakit anemia defisiensi besi yaitu tidak lain untuk mengetahui apa penyebab anemia defisiensi besi, kenapa bisa terjadi, apa saja komplikasinya, bagaimana cara penanganannya dan pengobatan bila penyakit ini sudah berkelanjutan. Dan apakah penyakit ini disebabkan oleh factor genetic atau bukan. Ini lah alasan kelompok mengangkat masalah penyakit anemia defisiensi besi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi anemia defisiensi besi?
2.      Apa etiologi dan dan factor resiko anemia defisiensi besi?
3.      Bagaimana patofisiologi anemia defisiensi besi?
4.      Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan anemia defisiensi besi?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Tujuan Umum
a.       Menjelaskan definisi anemia defisiensi besi
b.      Menjelaskan etiologi dan dan factor resiko anemia defisiensi besi
c.       Menjelaskan patofisiologi serta manifestasi klinis anemia defisiensi besi
d.      Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan anemia defisiensi besi
2.      Tujuan Khusus
a.       Pembaca dapat memahami definisi, etiologi, factor resiko serta patofiologi anemia defisiensi besi.
b.      Pembaca khususnya mahasiswa ilmu keperawatan dapat memahami asuhan keperawatan terhadap pasien anemia defisiensi besi
c.       Perawat dapat menerapkan asuan keperawatan yang tepat terhadap pasien dengan anemia defisiensi besi

D.    Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah ini terdiri dari :
1.      Bab I         : Berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, dan Tujuan
  Penulisan
2.      Bab II        : Berisi tentang Konsep Dasar, Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Faktor
  Resiko, Evaluasi Diagnostik, dan Penatalaksanaan
3.      Bab III      : Berisi tentang Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Intervensi,
  Implementasi dan Evaluasi
4.      Bab IV      : Berisi tentang Kesimpulan dan Saran
5.      Daftar Pustaka


                                                         






BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Anatomi Fisiologi
Berupa cakram kecil bikonkaf, cekung pada kedua sisinya, sehingga dilihat dari samping tampak seperti dua buah bulan sabit yang saling bertolak belakang. Dalam setiap millimeter kubik darah terdapat 5.000.000 sel darah. Kalau dilihat satu per satu warnanya kuning tua pucat, tetapi dalam jumlah besar kelihatan merah dan memberi warna pada darah. Strukturnya terdiri atas pembungkus luar atau stroma, berisi massa hemoglobin.

Sel darah merah memerlukan protein karena strukturnya terbentuk dari asam amino. Sel darah merah juga memerlukan zat besi, sehingga untuk membentuk penggantinya diperlukan diet seimbang yang berisi zat besi. Wanita memerlukan lebih banyak zat besi karena beberapa di antaranya dibuang sewaktu menstruasi. Sewaktu hamil diperlukan banyak lagi untuk perkembangan janin dan pembuatan susu.

Proses pembentukan sel darah terjadi pada awal masa embrional (masih janin sel atau sel paling muda), sebagian besar pada hati dan sebagian besar pada limpa. Dari kehidupan fetus hingga bayi dilahirkan. Pembentukan sel darah berlangsung dalam 3 tahap yaitu :
a.              Pembentukan di saccus vitellinus
b.              Pembentukan di hati,kalenjar limfe dan limpa
c.              Pembentukan di sumsum tulang 

Pembentukan sel darah mulai terjadi pada sumsum tulang setelah minggu ke-20 atau bulan ke 5 masa embrionik.(Masa awal janin sel atau sel paling muda). Dengan bertambahnya usia janin,produksi sel darah semakin banyak terjadi pada sumsum tulang dan peranan hati dan limfa semakin berkurang. Sesudah lahir, semua sel darah dibuat pada sumsum tulang, pada sumsum tulang, kecuali limfosit yang juga dibentuk di kalenjar limfe, thymus, dan lien. Pada orang dewasa, pembentukan sel darah diluar sumsum tulang (extramedullary hemopoiesis) masih dapat terjadi bila sumsum tulang mengalami kerusakan atau mengalami fibrosis. Sampai dengan usia 5 tahun,pada dasarnya semua tulang dapat menjadi tempat pembentukan sel darah.Tetapi sum-sum tulang dari tulang panjang,kecuali bagian proksimal humerus dan tibia,tidak lagi membentuk sel darah setelah usia mencapai 20 tahun.Setelah usia 20 tahun, sel darah diproduksi terutama pada tulang belakang,sternum,tulang iga dan ilinium. 75% sel pada sumsum tulang menghasilkan sel darah putih dan hanya 25% sel darah merah. Jumlah eritrosit dalam sirkulasi 500 kali lebih banyak dari leukosit. hal ini disebabkan oleh karena usia leukosit dalam sirkulasi lebih pendek (hanya beberapa hari ) sedangakan eritrosit (120 hari). Rata-rata panjang hidup darah merah kira-kira 115 hari. Sel menjadi usung dan dihancurkan dalam system retikulo-endotelial, terutama dalam limpa dan hati.

Sel darah merah dibentuk dalam sumsum tulang, terutama dari tulang pendek, pipih, dan tak beraturan, dari jaringan kanselus pada ujung tulang pipa, dari sumsum dalam batang iga-iga, dan dari sternum.

Perkembangan sel darah dalam sumsum tulang melalui berbagai tahap : mula-mula besar dan berisi nucleus, tetapi tidak ada hemoglobin. Kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya, kemudian baru diedarkan ke dalam sirkulasi darah.

Molekul hemoglobin manusia tersusun dari empat subunit protein berbentuk globul (yaitu hampir berbentuk sfera). Oleh sebab satu subunit dapat membawa satu molekul oksigen, maka secara efektifnya setiap molekul hemoglobin dapat membawa empat molekul oksigen. Setiap subunit pula terdiri dari satu rantai polipeptida yang mengikat kuat sebuah molekul lain, disebut heme.


Struktur heme adalah lebih kurang sama dengan klorofil. Ia terdiri dari satu molekul bukan protein berbentuk cincin yang disebut porphyrin, dan satu atom besi (Fe) yang terletak di tengah-tengah molekul porphyrin. Disinilah oksigenakan diikat semasa darah melalui paru-paru.
 

Hemoglobin, yang merupakan sekitar 90 persen dari protein sel darah merah, merupakan protein tetramerik, yaitu mengandungi empat rantai polipeptida. Hemoglobin dewasa (HbA), hemoglobin utama orang dewasa, memiliki dua rantai a dan ß dalam strukturnya («2 ß2) dan dengan demikian memiliki struktur kuaterner heterogen. Terdapat juga suatu hemoglobin dewasa minor (HbA2) yang secara normal mencakup sekitar 3 persen dari hemoglobin total dan mempunyai dua rantai Ô sebagai pengganti rantai ß (oc2 82). HbA dan HbA2 merupakan bentuk postnatal dari hemoglobin. Sebelum kelahiran, hemoglobin janin dan embrionik digunakan sebagai karier oksigen. Hemoglobin yang pertama timbul dalam perkembangan embrional disebut sebagai Ç2£2; rantai Ç dan e masing-masing analog dengan rantai a dan rantai ß. Jika produksi rantai Ç berhenti (setelah sekitar enam minggu), maka timbul tetramer oc2 C2, yaitu a menggantikan Ç Suatu hemoglobin embrionik ketiga Ç272, juga telah diidentifikasi (y menggantikan e). Dua hemoglobin yang disebut terakhir ini merupakan fase transisi yang menjurus pada timbulnya hemoglobin janin (HbF), yang komposisi tetrameriknya adalah 0272. Dua rantai a, masing-masing dengan residu 141 asam amino, merupakan ciri molekular lazim dari HbF dan HbA. Rantai y, 5 dan ß, walaupun merupakan spesies molekul yang khas, namun masing-masing terdiri dari146 residu dan mempunyai asam amino homolog (serupa tetapi tidak sama). Rantai ydan 8 berbeda dari rantai ß masing-masing pada residu asam amino 39 dan 10.

Hemoglobin tidak hanya melengkapi oksigen ke jaringan tetapi juga mengangkut produk sampah dari metabolisme (H+ dan CO2) jaringan. Karena biomolekul yang sama bertanggung jawab bagi kedua sistem transpor, maka tidak mengherankan bahwa terdapat pengaturan yang saling mempengaruhi antara kedua fungsi ini. Saling ketergantungan metabolik dari dua fungsi transpor hemoglobin ini dikenal sebagai efek Bohr. Peningkatan konsentrasi CO2 dan H+ (penurunan pH) menurunkan afinitas oksigen dari hemoglobin dan sebaliknya, peningkatan konsentrasi oksigen menurunkan afinitas bagi CO2 dan H+. (Sebagai kontras, peningkatan konsentrasi CO2 dan H+ mempunyai efek yang kecil terhadap afinitas oksigen mioglobin.) Dalam keadaan fisiologi, saling keterkaitan antara dua fungsi transpor ini merupakan aspek yang penting dari masing-masing sistem. Asam (H+) dan CO2 dalam kapiler dari jaringan yang bermetabolisme secara aktif, contohnya, otot, menyebabkanmeningkatnya pembebasan oksigen yang terikat hemoglobin, yang dibutuhkan oleh jaringan untuk metabolisme berikutnya. Dalam paru-paru, konsentrasi oksigen yang tinggi meningkatkan pelepasan H+ dan CO2 dari hemoglobin untuk ekshalasi CO2.

Globin dari hemoglobin dipecah menjadi asam amino untuk digunakan sebagai protein dalam pembentukan sel darah merah lagi. Sisa hem dari hemoglobin diubah menjadi bilirubin (pigmen kuning) dan biliverdin yang berwarna kehijau-hijauan dan dapat dilihat pada perubahan warna hemoglobin yang rusak pada luka memar.

Bila terjadi perdarahan maka sel merah dengan hemoglobinnya sebagai pembawa oksigen, hilang. Pada perdarahan sedang, sel-sel itu diganti dalam waktu beberapa minggu berikutnya. Tetapi bila kadar hemoglobin turun sampai 40% atau dibawahnya, maka diperlukan tranfusi darah.
Fungsi             : Mengikat oksigen dari paru-paru untuk diedarkan keseluruh jaringan tubuh dan mengikat karbon dioksida dari jaringan tubuh untuk dikeluarkan melalui paru-paru / melalui jalan pernafasan.
Produksi Eritrosit (Eritropoesis):
a.       Terjadi di sumsum tulang dan memerlukan besi, Vit B12, asam folat, piridoksin (B6)
b.      Di pengaruhi oleh O dalam jaringan
c.       Masa hidup : 120 hari
d.      Eritrosit tua dihancurkan di sistem retikuloendotelial (hati dan limpa)
e.       Pemecahan Hb menghasilkan bilirubin dan besi. Besi berkaitan dengan protein (transferin) dan diolah kembali menjadi Hb baru.


B.     Pengertian Anemia Defisiensi Besi

Anemia (dalam bahasa Yunani: tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada dibawah normal. Sel darah merah mengandung hemoglobin yang memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru – paru dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh.
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, eleman tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada banyak tipe anemia dengan beragam penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 1999).
1.      Klasifikasi anemia akibat Gangguan Eritropoiesis
a.       Anemia defisiensi Besi :
Tidak cukupnya suplai besi mengakibatkan defek pada sintesis Hb, mengakibatkan timbulnya sel darah merah yang hipokrom dan mikrositer.
b.      Anemia Megaloblastik
Defisiensi folat atau vitamin B12 mengakibatkan gangguan pada sintesis timidin dan efek pada replikasi DNA, efek yang timbul adalah pembesaran prekursor sel darah (megaloblas) di sumsum tulang, hematopoiesis yang tidak efektif, dan pansitopenia.
c.       Anemia Aplastik
Sumsum tulang gagal memproduksi sel darah akibat hiposelularitas. Hiposelularitas ini dapat terjadi akibat paparan racun, radiasi, reaksi terhadap obat atau virus, dan efek pada perbaikan DNA serta gen.
d.      Anemia Mieloptisik
Anemia yang terjadi akibat penggantian sumsum tulang oleh infiltrate sel-sel tumor, kelainan granuloma, yang menyebabkan pelepasan eritroid pada tahap awal.

2.      Klasifikasi anemia berdasarkan ukuran sel
a.       Anemia mikrositik : penyebab utamanya yaitu defisiensi besi dan talasemia (gangguan Hb)
b.      Anemia normositik : contohnya yaitu anemia akibat penyakit kronis seperti gangguan ginjal.
c.       Anemia makrositik : penyebab utama yaitu anemia pernisiosa, anemia akibat konsumsi alcohol, dan anemia megaloblastik.

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya mineral FE sebagai bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit (Arif Mansjoer, kapita selekta, jilid 2 edisi 3, Jakarta 1999).
Pada Laki-laki dewasa (berat badan 75 kg) mengandung ± 4000 mg zat besi, sementara wanita dewasa (berat badan 55 kg) mengandung ± 2100 mg zat besi. Laki-laki memiliki cadangan zat besi di dalam limpa dan sumsum tulang sebanyak 500-1500 mg, itulah sebabnya kekurangan darah (anemia) jarang dijumpai pada laki-laki. Sebaliknya, wanita hanya mempunyai cadangan zat besi 0 – 300 mg sehingga rentan terhadap anemia, apalagi pada usia subur wanita mengalami menstruasi.

C.     Etiologi
Penyebab terjardinya penyakit Anemia Defisiensi Besi, menurut Dr. Lyndon Saputra sebagai berikut :
1.      Kehilangan darah akibat pendarahan di saluran pencernaan atau menstruasi (penyebab yang lebih jarang adalah kehilangan darah melalui saluran urogenital).
2.      Kekurangan zat besi dalam diet (pada orang dewasa jarang terjadi)
3.      Absorpsi zat besi yang buruk pada pasien yang pernah menjalani bedah lambung atau usus halus
4.      Flebotomi berulang, baru saja mendonorkan darah
5.      Kebutuhan yang meningkat (misalnya selama kehamilan)
6.      Hemolisis traumatis (fungsi katup jantung yang abnormal), hermosiderosis pulmonalis idiopatik (sekuestrasi zat besi dalam makrolag paru-paru), hemoglobinuria, nocturnal paroksimal (hemolysis intravascular).

D.    Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum (misalnya berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolysis (destruksi). Pada kasus yang disebut terakhir, masalahnya dapat akibat defek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah. Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam system retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini, bilirubin, yang terbentuk dalam fagosit, akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel sarah merah (hemolysis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma. (Konsentrasi normalnya1 mg/dl atau kurang: kadar di atas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera)
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, seperti yang terjadi pada berbagai kelainan hemolitik, maka hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobinbebas) untuk mengikat semuanya (misalnya apabila jumlahnya lebih dari sekitar 100 mg/dl), hemoglobin akan terdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin (hemoglobinuria dapat memberikakan informasi mengenaik lokasi pengahancuran sel darah merah abnormal pada pasien dengan hemolysis dan dapat merupakan petunjuk untuk mengetahui sifat proses hemolotik tersebut.
Eritropoesis (produksi sel darah merah) dapat ditentukan dengan mengukur kecepatan dimana injeksi besi radioaktif dimasukkan ke sirkulasi eritrosit. Rentang hidup sel darah merah pasien (kecepatan hemolysis) dapat diukur dengan menandai sebagian diantaranya dengan injeksi kromium radioaktif, dan mengikuti sampai bahan tersebut menghilangi dari sirkulasi darah selama beberapa hari sampai minggu. Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang, akibatnya dapat menghambat kerja organ – organ penting, salah satunya otak. Otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya kurang, maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah, lambat menangkap, jika sudah rusak tidak bisa diperbaiki (Sjaifoellah, 1998).




























Pendarahan saluran cerna, uterus, hidung, luka
Overaktif Retikulo Endotalia Sistema,
Produksi SDM abnormal
Defisiensi besi, B 12, As. Folat, Depresi sumsum tulang, eritropoetin menurun
Kehilangan SDM (sel darah merah)
Pengahancuran sel darah merah menjadi meningkat
Produksi sel darah merah menurun
Pertahanan sekunder tidak adekuat
Resiko Infeksi
Efek GI
Penurunan jumlah eritrosit
Penurunan kadar Hb
 









Kompensansi jantung
Kompensasi paru
Gangguan penyerapan nutrisi dan defisiensi folat
Beban kerja dan curah jantung meningkat
Takikardia, angina (nyeri dada), iskemia miokardium, beban kerja jantung meningkat
Penurunan transport O2

Peningkatan frekuensi napas
Dyspnea (kesulitan bernapas)

Glositis berat (lidah meradang), diare
Intake nutrisi menurun (anoreksia)












Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer akut
                                   
Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Peningkatan kontraktilitas
Palpitasi
Hipoksia
Lemah lesu, Parestesia, mati rasa, ataksia, gangguan koordinasi, bingung
Defisit perawatan diri Intolerasi aktivitas
Penebalan dinding ventrikel
Kardiomegali
Ketidakefektifan pola napas
 









Bagan 2.2 : Patofiologi anemia dalam keperawatan
Amin Huda Nurarif. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction

E.     Manifestasi Klinis
Semakin cepat perkembangan anemia, semakin berat gejalanya. Pada orang yang normal penurunan hemoglobin, hitung darah merah, atau hematocrit tanpa gejala yang tampak atau ketidak mampuan yang jelas secara bertahap biasanya dapat ditoleransi sampai 50%, sedangkan kehilangan cepat sebanyak 30% dapat menyebabkan kolaps vaskuler pada individu yang sama. Individu yang telah mengalami anemia selama waktu yang cukup lama, dengan kadar hemoglobin antara 9 dan 11 mg/dl, hanya mengalami sedikit gejala atau tidak ada gejala sama sekali selain takikardia ringan saat latihan. Dispnu latihan biasanya terjadi hanya di bawah 7,5 g/dl; kelemahan hanya terjadi dibawah 6 g/dl; dispnu istirahat di bawah 3g/dl; dan gagal jantung, hanya pada kadar sangat rendah 2 sampai 2,5 g/dl.
Pasien yang biasanya aktif lebih berat mengalami gejala, dibanding orang yang tenang. Pasien dengan hipotiroidisme dengan kebutuhan oksigen yang rendah bias tidak bergejala sama sekali, tanpa takikardia atau peningkata tubuh curah jantung.












F.     Pemeriksaan Penunjang ( Menurut Smeltzer, Suzanne C.)

Jumlah Darah Lengkap (JDL)
Hemoglobin dan hematocrit menurun


Jumlah Eritrosit
Menurun (AP), menurun berat (aplastic), MCV (volume korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin korpuskulr rerata)  menurun dan mikrositik dengan eritositik dengan eritrosit hipokromik (DB), peningkatan (AP)
Jumlah Retikulosit
Bervariasi, misalnya menurun (AP), meningkat (respons sumsum tulang terhadap kehilangan darah hemolisis)
Pewarnaan Sel Darah Merah
Mendeteksi perubahan warna dan bentuk (dapat mengindikasikan tipe khusus anemia)

Laju Endap Darah (LED)
Peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi, misalnya, peningkatan kerusakan sel darah merah atau penyakit maligasi.

Masa Hidup Sel Darah Merah
Berguna dalam membedakan diagnose anemia, misalnya pada tipe anemia tertentu, sel darah merah mempunyai waktu hidup lebih pendek.
Tes Kerapuhan Eritrosit
Menurun (Defisiensi Besi)

SDP
Jumlah sel total sama dengan sel darah merah (diferensial) mengkin meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastic)
Jumlah Trombosit
Menurun (aplastic); meningkat (Defisiensi Besi); normal atau tinggi (hemolitik)
Pemeriksaan Endoskopik dan Radiografik
Memeriksa sisa perdarahan; perdarahan GI

Hemoglobin Elektroforesis
Mengidentifikasi tipe struktur hemoglobin.
Bilirubin Serum (tak terkonjugasi)
Meningkat (AP, Hemolitik)
Folat serum dan vitamin B12
Membantu mendiagnosa anemia sehubungan dengan defisiensi masukkan/absorpsi
Besi Serum
Tak ada (DB)
TIBC Serum
Meningkat (DB)
Feritin Serum
Menurun (DB)
Masa Perdarahan
Memanjang (aplastic)
LDH Serum
Mungkin meningkat
Tes Schilling
Penurunan ekskresi vitamin B12 urine (AP)

Guaiac
Mungkin positif untuk darah pada urine, feses, dan isi gaster, menunjukkan perdarahan akut/kronis (DB)
Analisa Gaster
Penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak adanya asam hidroklorik bebas (AP)

Aspirasi Sumsum Tulang atau Pemeriksaan Biopsi
Sel mungin tampak berubah dalam jumlah, ukuran, dan bentuk, membentuk membedakan tipe anemia, misalnya peningkatan megaloblas (AP), lemak sumsum dengan penurunan sel darah (aplastic)
Pemeriksaan Endoskopi
Memeriksa sisa perdarahan; perdarahan GI
                                    
G.    Evaluasi Diagnostik ( Menurut Smeltzer, Suzanne C. )
Berbagai uji hematologis dilakukan untuk menentukan jenis dan penyebab anemia. Uji tersebut meliputi kadar hemoglobin dan hematocrit, indeks sel darah merah, penelitian sel darah putih, kadar besi serum, pengukuran kapasitas ikatan-besi. Kadar folat, vitamin B12, hitung  trombosit, waktu perdarahan, waktu protrombin, dan waktu tromboplastin parsial. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang dapat dilakukan. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan diagnosik untuk menentukan adanya penyakit akut dan kronis serta sumber kehilangan darah kronis.

H.    Penatalaksanaan ( Menurut Smeltzer, Suzanne C. )

Kecuali pada kasus kehamilan, penting dicari penyebab defisien besi. Anemia bisa merupakan tanda adanya keganasan gastrointestinal yang dapat disembuhkan atau fibroid uterus atau kanker. Specimen tinja harus diperiksa akan adanya darah tersembunyi. Berbagai preparat besi oral tersedia untuk penangannya: sulfat ferosus, glukonat ferosus, dan fumarat ferosus. Adalah sulfat ferosus. Tablet dengan salut enteric kurang bisa diabsorbsi dan harus dihindari. Secara umum, besi harus dilanjutkan selama satu tahun setelah sumber perdarahan dapat terkontrol. Sehingga cadangan besi dapat kembali terpenuhi.

I.       Factor Resiko
Ada banyak faktor risiko anemia karena kekurangan zat besi, seperti:
1.      Jenis Kelamin
Jumlah penderita anemia lebih banyak wanita dibanding pria. Beberapa alasan wanita lebih banyak terkena anemia yaitu
a.       Pada umumnya masyarakat Indonesia lebih banyak mengonsumsi makanan nabati dibandingkan hewani, sehingga masih banyak yang menderita anemia;
b.      Wanita lebih jarang makan makanan hewani dan sering melakukan diit pengurangan makan karena ingin langsing;
c.       Wanita Mengalami haid setiap bulan, sehingga membutuhkan zat besi dua kali lebih banyak daripada pria (Depkes 1998).

2.      Besar Keluarga (Menurut Prihartini et al 1996)
Besar keluarga sangat berpengaruh pada jumlah makanan yang harus disediakan. Semakin sedikit jumlah anggota kelurga maka semakin mudah terpenuhi kebutuhan makanan seluruh anggota keluarga. Demikian juga, apabila jumlah anggota keluarga banyak, maka makanan yang tersedia tidak mencukupi apabila pendapatan terbatas. Besar keluarga akan mempengaruhi konsumsi gizi di dalam suatu keluarga dan akan mempengaruhi pula pada kesehatan anak-anak dan ibu.Konsumsi pangan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi tetapi juga faktor non ekonomi. Faktor non ekonomi tersebut di antaranya besar keluarga dan komposisi umur dalam keluarga (Putri 2004). Sanjur (1982) diacu dalam Putri (2004) menyatakan bahwa besar keluarga mempunyai pengaruh pada belanja pangan. Pendapatan per kapita dan belanja pangan akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga.

3.      Pendidikan
Faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah (Permaesih & Herman 2005). Menurut Atmarita dan Fallah (2004), tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi memudahkan seseorang untuk dapat menerima informasi dan menerapkannya dalam perilaku dan gaya hidup sehat sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi.

4.      Pekerjaan
Pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi besarnya pendapatan, selain itu juga lamanya waktu yang dipergunakan seseorang ibu untuk bekerja di dalam dan di luar rumah, jarak tempat kerja dapat mempengaruhi susunan makanan dalam keluarganya (Khumaidi 1989). Hasil penelitian Oktaviani (1989) diacu dalam Putri (2004) menunjukkan bahwa tingkat pendapatan yang berbeda akan menyebabkan alokasi pengeluaran yang berbeda. Golongan berpendapatan rendah, proporsi pengeluaran untuk pangan lebih besar dibandingkan pengeluaran lainnya, sedangkan pada golongan berpendapatan tinggi persentase pengeluaran pangan lebih kecil dibandingkan pengeluaran lainnya.

5.      Status Gizi
Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama (Supariasa et al.2001). Menurut Thompson (2007) diacu dalam Arumsari (2008), status gizi mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin, artinya semakin buruk status gizi seseorang maka semakin rendah kadar Hbnya.Adapun penilaian status gizi berbeda-beda untuk setiap kelompok umur.
a.       Status Gizi Usia 10-14tahun.
Status gizi penduduk umur 10-14 tahun dapat dinilai berdasarkan IMT yang dibedakan menurut umur dan jenis kelamin. Rujukan untuk menentukan kurus, apabila nilai IMT kurang dari 2 standar deviasi (SD) dari nilai rerata, dan berat badan (BB) lebih jika nilai IMT lebih dari 2 SD nilai rerata standar WHO 2007.
b.      Status Gizi Usia > 15 tahun
Pengukuran paling reliable untuk ras spesifik dan populasi untuk menentukan status gizi adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan seseorang dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan membagi berat badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi dalam satuan meter kuadrat (Riyadi 2003).
Rumus IMT :
IMT = Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (m2)      

6.      Intik dan Bioavailabilitas Zat Besi (Fe)
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yakni sebanyak 3 - 5 gram di dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier 2000).
Zat besi berperan sebagai pusat katalis untuk berbagai fungsi metabolik. Besi dibutuhkan tubuh dalam transportasi oksigen dalam bentuk hemoglobin yang penting untuk respirasi sel. Besi dalam bentuk mioglobin, dibutuhkan dalam penyimpanan oksigen di dalam otot. Zat besi juga merupakan komponen berbagai enzim jaringan, seperti sitokrom, yang penting dalam produksi energi (Strain & Cashman 2002).
Besi bekerja sama dengan rantai protein-pengangkut elektron, yang berperan dalam metabolisme energi di dalam tiap sel. Protein pengangkut memindahkan hidrogen dan elektron yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksigen sehingga membentuk air. Selanjutnya dalam proses tersebut dihasilkan ATP (Almatsier 2000).
Tidak semua zat besi yang berada dalam makanan dapat diserap oleh tubuh karena bioavailabilitasnya yang rendah atau kurangnya asupan pangan hewani (UNICEF 1998).
Zat besi yang berasal dari hewani, penyerapannya tidak banyak dipengaruhi oleh jenis kandungan makanan lain dan lebih mudah diabsorpsi dibandingkan zat besi yang berasal dari nabati. Makanan nabati, misalnya sayuran hijau tua, walaupun kaya akan zat besi namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus (Wirakusumah 1998).
Namun pangan sumber zat besi terutama zat besi hem, yang bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang. Kebanyakan masyarakat memenuhi kebutuhan besi dari produk nabati (Depkes 1998).
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh, yaitu ketersediaan zat besi di dalam tubuh, bioavailabitas zat besi, dan adanya faktor penghambat zat besi. Apabila jumlah zat besi yang berada di dalam tubuh menurun maka penyerapan zat besi akan meningkat. Pada laki-laki, penyerapan zat besi akan meningkat setelah pertumbuhan berhenti dan memasuki masa dewasa. Sebaliknya, pada wanita setelah masa menopause cadangan zat besi dalam tubuh meningkat dan penyerapannya menurun karena tidak mengalami menstruasi lagi (Wirakusumah 1998).
Zat besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan. Zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan memiliki daya seraplebih rendah (5%) dibanding zat besi yang berasal dari hewan yang mempunyai daya serap tinggi (15%). Bentuk zat besi yang terdapat di dalam makanan dapat mempengaruhi penyerapan zat besi oleh tubuh. Ada dua macam bentuk zat besi dalam makanan, yaitu hem dan nonhem. Zat besi hem berasal dari hewan seperti daging, ikan, dan ayam, sedangkan zat besi non-hem terdapat pada pangan nabati, seperti sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, dan buah-buahan. Walaupun kandungan zat besi hem dalam makanan hanya antara 5-10%, tetapi penyerapannya mencapai 15%, sedangkan zat besi nonhem penyerapannya hanya 5% (UNICEF 1998).
Penyerapan zat besi non-hem sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor penghambat maupun pendorong, sedangkan besi hem tidak (Thankachan et al.2008).
Adapun faktor yang mempermudah penyerapan zat besi non-hem adalah vitamin C (asam askorbat) (UNICEF 1998). Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan zat besi non-hem sampai empat kali lipat (Wirakusumah 1998). Zat besi diangkut melalui dinding usus dalam senyawa dengan asam amino atau dengan vitamin C. Vitamin C umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yakni sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nanas, rambutan, pepaya, gandaria, dan tomat. Vitamin C juga banyak terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2000).

7.      Gaya Hidup
Gaya hidup merupakan ciri pribadi yang dimiliki oleh setiap orang. Sebagai ciri atau karakteristik, gaya hidup banyak berpengaruh terhadap tingkah laku dalam kehidupan individu dan dengan kata lain, gaya hidup merupakan disposisi atau watak yang melatarbelakangi perilaku, reaksi atau respon seseorang terhadap diri dan lingkungan yang mempengaruhinya (Mulyono 1994).
Selanjutnya menurut Sanjur (1982) dalam Andiyani (2007), gaya hidup adalah hasil pengaruh beragam peubah bebas yang terjadi di dalam keluarga atau keluarga. Peubah yang membentuk gaya hidup termasuk penyediaan materi, sifat situasi, kerangka ide budaya dan sifat-sifat psikologis serta kesehatan.Gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari sekumpulaninteraksi sosial, budaya, keadaan dan hasil pengaruh beragam variabel bebas yang terjadi di dalam keluarga atau rumah tangga. Gaya hidup dapat diartikan sebagai cara hidup masyarakat. Gaya hidup seperti kegiatan merokok, konsumsi alkohol dan aktifitas fisik turut berperan dalam menentukan status kesehatan (Suharjo 1989).
8.      Konsumsi Alkohol
Alkohol merupakan minuman yang hanya mengandung energi dan bersifat diuretik. Metabolisme alkohol akan membutuhkan vitamin B1 dan niasin. Sifat diuretik dari alkohol juga akan mengurangi vitamin-vitamin B, vitamin C, mineral kalsium, kalium, dan magnesium. Minum alkohol secara berlebihan dapat menurunkan penyerapan asam folat (Anonim 2007). Alkohol juga akan menurunkan nafsu makan sehingga tubuh terhalang untuk memperoleh asupan konsumsi gizi seimbang (Anonim 2009 & Khomsan 2002).
9.      Riwayat Penyakit
Infeksi dan parasit dapat menyebabkan anemia melalui peningkatan kehilangan zat gizi terutama besi. Prevalensi anemia yang tinggi pada laki-laki sering disebabkan karena infeksi dan parasit (Yip 1994). Penyakit-penyakit yang dapat menjadi penyebab anemia antara lain malaria, HIV, cacing tambang, dan diare kronis.
a.       Malaria.
Penyakit malaria dapat menyebabkan penurunan absorpsi besi selama periode sakit dan dari hasil hemolisis intravaskuler dapat menyebabkan rendahnya kadar hemoglobin.Plasmodium falciparum malaria merupakan penyebab utama dari anemia berat pada daerah Afrika tropis. Malaria berkontribusi sekitar 60% dari semua kasus anemia tingkat berat pada bayi di Tanzania, sementara kekurangan besi terhitung sebanyak 30%. Kekurangan besi dan malaria dapat memperberat anemia (Menendez et al.1994).
b.      Infeksi HIV
Infeksi HIV secara kuat berhubungan dengan anemia, terutama di Afrika dan dapat meningkatkan risiko perkembangan penyakit lainnya. Lebih dari 70% individu yang AIDS mengalami anemia. Anemia mungkin disebabkan oleh penyakit kronis; defisiensi zat gizi; ketidakseimbangan faktor pertumbuhan yang 13 berakibat dari aksi HIV pada makrofag, fibroblas, dan sel T; infeksi parvovirus B19 yang tidak terkontrol; dan overdosis (Bain 1997).
c.       Infeksi Cacing Tambang.
Cacing tambang menginfeksi hampir 1 milyar individu dan menyebabkan kehilangan darah dari mukosa usus (Stephenson 1987). Semakin banyak jumlah cacing tambang, maka semakin banyak darah dan besi yang hilang. Kehilangan darah akibat infestasi cacing tambang dapat menyebabkan anemia tingkat sedang dan berat(Gillespie & Johnston 1998). Jumlah cacing tambang yang cukup banyak dapat menyebabkan kehilangan besi yang lebih banyak dan kehilangan besi pada feses sebanyak 3.4 mg per hari. Remaja dan dewasa lebih mudah terinfeksi dibandingkan bayi dan anak-anak (Stephenson 1987).
d.      Diare.
Menurut UNICEF (1998), diare dapat memperberat kejadian anemia. Diare adalah buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Orang dengan HIV sering mengalami diare. Diare dapat menjadi masalah berat. Diare yang ringan dapat pulih dalam beberapa hari. Namun, diare yang berat dapat menyebabkan dehidrasi (kekurangan cairan) atau masalah gizi yang parah.Hal ini membuat tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat membahayakan jiwa, khususnya pada anak dan orang tua.

10.  Citra Tubuh
Citra tubuh adalah keyakinan individu terhadap tubuhnya, citra tubuh yang negatif dapat menimbulkan suatu gangguan citra tubuh. Salah satu gangguan citra tubuh adalah overestimation yaitu mempersepsikan tubuhnya lebih besar dari keadaan yang sesungguhnya.
Hasil penelitian Santy (2006) menunjukkan bahwa sebanyak 52.6 persen remaja mengalami distorsi persepsi (overestimation) terhadap tubunya. Citra tubuh yang keliru sering diikuti oleh pembatasan konsumsi makanan dengan tidak memperhatikan kaidah gizi dan kesehatan. Akibatnya, asupan gizi secara kuantitas dan kualitas tidak sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan (Santy 2006).


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A.    Pengkajian
1.      Aktivitas/Istirahat
a.       Gejala :
1)      Keletihan, kelemahan, malaise umum
2)      Kehilangan produktivitas penurunan semangat untuk bekerja
3)      Toleransi  terhadap latihan rendah.
4)      Kebutuhan untuk tidur dan istirahat banyak.
b.      Tanda  :
1)      Takikardia/takipenia dispenia bekerja atau istirahat.
2)      Lelatgi menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya.
3)      Kelemahan otot dan penurunan kekuatan.
4)      Ataksia tubuh tidak tegak
5)      Bahu menurun, postur tunggal, berjalan lambat dan tanda tanda lain yang menunjukan keletihan
2.      Sirkulasi
a.       Gejala :
1)      Riwayat kehilangan darah kronis, misalnya pendarahan GI kronis mentruasi berat (DB) angina CHF (akibat kerja jantung berlebihan )
2)      Riwayatendokritis infektif kronis.
3)      palpitasi. (takikardia komponen).
b.      Tanda : 
1)      TD peningkatan sisitonik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar : hipotensi postural
2)      Disiritmia : abnormalistik EKG mis , depresi segemen ST dan pendasftaran atau depresi gelombang
3)      T : takikardia
4)      Bunyi jantung murmur sistolik (DB)
5)      Ekstremitas (warna) pucat pada kulit dan membran mukosa (konjungtiva mulut faring bibir) dan dasar kuku. (catatan pada pasien kulit hitam,pucat  dapat tampak sebagai keabu abuan), kulit seperti berlilin,pucat (aplastik, AP) atau kuning lemon terang (PA).
6)      Sklera : biru atau putih seperti mutiara (DB).
7)      Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke perifer dan fasokontriksi kompensasi). Kuku: mudah patah, berbentuk seperti sendok (koiloniklia) (DB).
8)      Rambut : kering,mudah putus, menipis, tumbur uban secara prematur (AP)
2.      Integritas Ego
a.       Gejala :
Keyakinan agama atau budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misalnya   penolakan transfusi darah.
b.      Tanda :
Depresi
3.      Eliminasi
a.       Gejala :
1)      Riwayat pielonifritis , gagal ginjal.
2)      Flatulen, sindrom malabsorbsi (DB).
3)      Hematemesis, feses dengan darah segar, melena.
4)      Diare atau konstipasi .
5)      Penurunan haluaran urine
b.      Tanda :
Distensi abdomen

4.      Makanan/Cairan
a.       Gejala :
1)      Penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani rendah / masukan  produk sereal tinggi ( DB).
2)       Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring ) .
3)      Mual/muntah, dispepsia, anoreksia.
4)      Adanya penurunan berat badan.
5)      Tidak pernah puas mengunyah atau pika untuk es, kotoran, tepung jagung, cat, tanah liat . (DB)
b.      Tanda :
1)      Lidah tampak merah daging/halus (AP), desfiensi asam folat dan vitamin B12,membran mukosa kering , pucat.
2)      Tugor kulit : buruk, kering, tampak kisut/hilang elastisitas (DB).
3)      Stomatitis dan glositis (status defisiensi)
4)      Bibir  : selitis , misalnya Inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah (DB)
5.      Hygiene
Tanda :
Kurang bertenaga, penampilan tak rapih.
6.      Neurosensori
a.       Gejala :
1)      Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinitus, ketidakmampuan berkonsetrasi.
2)      Insomnia, penurunan penglihatan, dan bayangan pada mata.
3)      Kelamahan, keseimbangan buruk, kaki goyah , parastasie tangan atau kaki (AP), klaudikasi sensasi menjadi dingin.
b.      Tanda :
1)      Peka rangsang, gelisah, depresi, cenderung tidur, apatis.
2)      Mental : tak mampu berespon lambat dan dangkal.
3)      Oftalmik : hemoragis retina (apalastik, ap).
4)      Efitaksis, perdarahan dari lubang lubang ( aplastik) .
5)      Gangguan koordinasi, ataksia : penurunanrasa getar dan posisi dan , tanda romberg positif, paralisis (ap)
7.      Nyeri/ Keamanan
Gejala :
Nyeri abdomen samar, sakit kepala (DB)
8.      Pernapasan
a.       Gejala :
1)      Riwayat TB, abses paru.
2)      Napas pendek pada istirahat dan aktivitas.
b.      Tanda :
Takipnea ortopnea ,dan dispnea
9.      Keamanan
a.       Gejala :
1)      Riwayat pekerjaan terpajan terhadap bahan kimia, misalnya Benzen, insektidia, fenibulzaton, naftalen
2)      Riwayat terpanjang pada radiasi baik sebagai pengobatan atau kecelakaan
3)      Riwayat kangker
4)      Terapi kanker tidak toleran terhadap dingin/panas.
5)      Transfusi darah sebelumnya
6)      Gangguan penglihatan.
7)      Penyembuh luka buruk sering infeksi
b.      Tanda :
1)      Demam rendah mengigil
2)      Berkeringat malam
3)      Limfomadenopati umum.
4)       petekien dan ekomisis (aplastik)
10.  Seksualitas
a.       Gejala :
1)      Perubahan aliran nebstruasi misalnya menoragia atau amenore (DB)
2)      Hilang libido (pria/wanita)
3)      Imponten.
b.      Tanda :
Serviks dan dinding vagina pucat.                 
11.  Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala :
1)      Kecendrungan keluarga untuk anemia (DB/AP)
2)      Penggunaan antikovulsan masa lalu/saat ini antibiotik agen kemotrapi (gagal sumsum tulang) aspirin obat antiinflamasi atau antikogulan.
3)      Pengguna alkohol klinis
4)      Adanya/berulang episode pendarahan aktif (DB)
5)      Riwayat penyakit hati ginjal : masalah hematologi penyakit seliak atau penyakit malabsopsi lain : entrntis regional manifestasi cacing pita polokointrapi masalah autoimun (mis.,antobodi pada sel pariental faktor intrinsik antibodi tiroid dan sel T)
6)      Pembedahan sebelumnya misalnya splektomi ekesi tumor pengganti katub prostetik eksis bedah dedumen atau rekseksi gaster gasterektomi pasrsial /total (DB/AP)
7)      Riwayat adanya masalah dengan penyembuhan luka atau perdarahan infeksi kronis penyakit granumolatus kronis atau kangker ( sekunder anemia )

12.  Pertimbangan
Rencana Pemulangan :
Dapat memerlukan bantuan dalam pengobatan (injeksi) aktivitas perawatan diri dan atau pemeliharaan rumah perubahan rencana diet

B.     Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan patofisiologi di atas ditemukan diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1.      Perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Penurunan komponen selular yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrisi ke sel.
2.      Intoleran Aktivitas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara suplasi oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
3.      Perubahan Nutrisi: Kurang Dari kebutuhan Tubuh berhubungan denganKegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi Nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sdm normal.
4.      Integritas Kulit, Kerusakan, Risiko Tinggi Terhadap berhubungan dengan Perubahan sirkulasi dan neurologis ( anemia ) / Gangguan mobilitas / Defisit nutrisi
5.      Konstipasi Atau Diare berhubungan dengan Penurunan masukan diet / Perubahan proses pencernaan / Efek samping terapi obat
6.      Infeksi, Risiko Tinggi Terhadap berhubungan dengan Pertahanan sekunder (tidak adekuat misalnya penurunan hemoglobin leukopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan)
7.      Kurang Pengetahuan (Kebutuhan Belajar) Tentang Kondisi Prognosis, Dan Kebutuhan Pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat/ Salah interpretasi informasi.
C.    Rencana Keperawatan
1.      Perubahan Perfusi Jaringan
Dapat dihubungkan dengan :
Penurunan komponen selular yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrisi ke sel.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
a.       Palpitasi,angina,kulit pucat, membran mukosa, kering, kuku, dan rambut rapuh.
b.      Ekstremitas dingin penularah haluaran urine mual/muntah distensi abdomen perubahan TD pengisi kapiler lambat ketidak mampuan berkonsisten disorientasi
Hasil yang diharapkan kriteria evaluasi pasien akan :
Menunjukan perfusi adekuat misalnya tanda vital stabil membran mukosa warna merah muda pengisisan kapiler baik, haluran urine adekuat mental seperti biasa.

Intervensi
Rasional
Mandiri :

1.      awasi tanda vital kaji pengisian kapiler, warna kulit/membran mukosa dasar kuku.
Memberikan informasi tentang derajat/kekuatan perfusi jaringan dan membantu menemukan kebutuhan intervensi
2.      Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi
meningkat ekspensi paru dan memaksimalkan oksigen untuk kebutuhan selular. Catatan kontraindikasi bila ada hipotensi.
3.      awasi upaya pernapasan : auskultasi bunyi napas berhentikan adventisius
dispenia generic menunjukan GJK kerena rengangan jantung lama/peningkatan kompensi curah jantung.
4.      Selidiki keluhan nyeri dada palpasi,
Iskemia selular mempengaruhi jaringan miokardial/protensial risiko infark
5.      Kaji untuk respon verbal melambat mudah terangsang agitasi gangguan memori binggung.
Dapat mengidentifikasi gangguan fungsi serebral karena hipoksia atau defisiensi vitamin B12
6.      Orientasi/orientasikan ulang pasien sesuai kebutuhan catat jadwal aktivitas pasien berpikir komunikasi dan aktivitas.
membantu memperbaiki proses pikir dan kemampuan melakukan / mempertahankan kebutuhan AKS.
7.      Catat keluhan rasa dingin pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangan sesuai indikasi.
vasokontriksi (Ke organ vital) menurunkan sirkulasi perifer. Kenyamanan pasien/kebutuhan rasa hangat harus seimbang dengan kebutuhan untuk menghindari panas berlebihan pencetus vasodilatasi (Penurunan Fungsi Organ)
8.      Hindari penggunaan bantalan penghangat atau botol air panas. Ukur suhu air mandi dengan thermometer
Termostrap jaringan dermal dangkal karena gangguan oksigen.


Kolaborasi :

9.      Awasi pemeriksaan laboraturium mis.Hb/Ht dan jumlah SDM,GDA
Mengidentifikasi definisi dan kebutuhan pengobatan respon terhadap terapi.
10.  Berikan SDM darah lengkap/packed produk darah sesuai indikasi. Awasi ketat untuk komplikasi transfusi.
meningkatkan jumlah sel pembawa oksigen ; memperbaiki definisi untuk Menurunkan resiko pendarahan,

11.  Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
Maksimal transpor oksigen kejaringan.
12.  Siapkan intervensi pembedahan sesuai indikasi
Transplasi sumsum tulang belakang pada kegagalan tulang/anemia plastrik


2.      Intoleran Aktivitas
Dapat dihubungin dengan :
Ketidakseimbangan antara suplasi oksigen (pengiriman ) dan kebutuhan.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
a.       Kelemahan dan kelelahan
b.      Mengeluh penurunan toleransi aktivitas/latihan  
c.       Lebih banyak memerlukan istirahat tidur.
d.      Palpitasi, takkikardia, peningkatan tekanan darah atau respons pernapasan dengan kerja ringan
Kriteria Hasil yang diharapkan :
a.       Melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasu aktivitas sehari hari )                                  
b.      menunjukan penurunan tanda fisiologi intoleransi misalnya nadi pernapasan dan TD masih dalam rentang normal pasien
Intervesi
Rasional
1.      Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas/AKS normal catat laporan kelelahan, dan kesulitan menyelesaikan tugas.
Mempengaruhi pilihan intervensi /bantuan
2.      Kaji kehilangan / gangguan keseimbangan gaya jalan kelemahan otot.
Menunjukan perubahan neurologi karena defisiensi vitamin B12 mempengaruhi kemampuan pasien/ resiko cedera.
3.      Awasi TD nadi, pernapasan selama dan susadah aktivitas catat respon terhadap tingkat aktivitas (misalnya Peningkatan denyut jantung disritmia, pusing, dispnea, takipnea dan sebagainya)
Manifestasi kardio pulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat kejaringan.

4.      Berikan lingkup tenang. Pertahankan tirah baring bila didasarkan pantau dan bastasi pengunjung, telepon dan gangguan berulang tindakan yang tidak direncanakan.
Meningkat istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan renganan jantung dan paru.

5.      Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
Hipotensi postirual atau hipoksida sebral dapat menyebabkan pusing berdenyut dengan peningkatan cedera.
6.      Prioritas jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat. Periode istirahat dengan periode aktivitas.
Mempertahankan tingkat energi dan meningkat regangan pada pasien sisitem jantung dan pernapasan.
7.      Berikan bantuan dalam aktivitas/ambulanisasi bila perlu kemungkinan pasien untuk melakukan sebanyak mungkin.
Membantu bila perlu harga diri tingkat bila pasien melakukan sesuatu sendiri.

8.      Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, termasuk aktivitas pasien yang pandang perlu. Tingkat tingkat aktivitas sesuai toleransi.
Meningkat secara bertahap tingkat aktivitas sampai normal dan memperbaiki tonus/otot /stamina tanpa kelemahan meningkat harga diri dan rasa terkontrol.
9.      Gunakan teknik penghematan energi mis. Mandi dengan duduk untuk melakukan tugas-tugas
Mendorong pasien melakukan banyak dengan membatasi penyimpangan energi dan mencegah kelemahan.
10.  Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi nyeri dada, napas pendek, kelemahan atau pusing terjadi.
Regang/ stres kardiopulmonal berlebihan /stres dapat menimbulkan dekompensasi /kegagalan.

3.      Perubahan Nutrisi : Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
Dapat dihubungkan dengan:  
Kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi Nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal.
Kemungkinan dibuktikan oleh:          
a.       Penurunan berat badan/berat badan dibawah normal untuk usia, tinggi, dan bangun badan.
b.      Penurunan lipatan kulit trisep.
c.       Perubahan gusi, membrane mukosa mulut.
d.      Penurunan toleransi untuk aktivitas, kelemahan, dan kehilangan tonus otot.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
a.       Menunjukkan peningkatan berat badan atau berat badan stabil dengan nilai laboratorium normal.
b.      Tidak mengalami tanda malnutrisi.
c.       Menunjukan perilaku, perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang sesuai.



Intervensi
Rasiomal
Mandiri

1.      Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai.
Mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan intervensi.
2.      Observasi dan catat masukan makanan pasien.

Mengawasi masukan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan.
3.      Timbang berat badan tiap hari.
Mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi.
4.      Berikan makan sedikit dan frekuensi sering dan atau makan diantara waktu makan.

Makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan pemasukan juga mencegah distensi gaster.
5.      Observasi dan catat kejadian mual/muntah, flatus, dan gejala lain yang berhubungan.
Gejala GI dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ.
6.      Berikan dan bantu hygiene mulut yang baik, sebelum dan sesudah makan, gunakan sikat gigi halus untuk penyikatan yang lembut.
Meningkatkan nafsu makan dan pemasukan oral, menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi.
7.      Berikan pencuci mulut yang diencerkan bila mukosa oral luka.
Teknik perawatan mulut khusus mungkin diperlukan bila jaringan rapuh/luka/perdarahan dan nyeri berat.
Kolaborasi

8.      Konsul pada ahli gizi.
Membantu dalam membuat rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual.
9.      Pantau pemeriksaan laboratorium, mis. Hb/ht, bun, al-bumin, protein, transferin, besi serum, b12, asam folat, tibc, elektrolit serum.
Meningkatkan efektivitas program pengobatan, termasuk sumber diet nutrisi yang dibutuhkan
10.  Berikan obat sesuai indikasi, misalnya : vitamin dan suplemen mineral, misalnya sianokobalamin (vitamin B12), asam folat (Flovite), asam askorbat (vitamin C).
Kebutuhan penggantian tergantung pada tipe anemia dan atau adanya masukan oral yang buruk dan defisiensi yang diidentifikasi.
11.  Beri dextran (IM/IV).

Diberikan sampai deficit diperkirakan teratasi dan disimpan untuk yang tak dapat diabsorsi atau terapi besi oral, bila kehilangan darah terlalu cepat untuk penggantian oral menjadi efektif.
12.  Tambahan besi oral,  misalnya fero sulfat (Feosol), fero glukonat (Fergon)
Mungkin berguna pada beberape tipe anemia defisisensi besi
13.  Asam hidroklorida (HCI).
Mempunyai sifat absorpsi vitamin B12 selama minggu pertama terapi.
14.  Antijamur atau pencuci mulut anestetik jika diindikasi.
Mungkin diperlukan pada adanya stomatitis/glositis untuk meningkatkan penyembuhan jaringan mulut dan memudahkan masukan.
15.  Berikan diet halus, rendah serat, menghindari makanan panas, pedas, atau terlalu asam sesuai indikasi.

Bila ada lesi oral, nyeri dapat membatasi tipe makanan yang dapat ditoleransi pasien
16.  Berikan suplemen nutrisi misalnya Ensure, Isocal.
Meningkatkan masukan protein dan kalori.

4.      Integritas Kulit, Kerusakan, Risiko Tinggi Terhadap
Faktor risiko meliputi:                      
a.       Perubahan sirkulasi dan neurologis ( anemia )
b.      Gangguan mobilitas
c.       Defisit nutrisi
Kemungkinan dibuktikan oleh:       
(tidak dapat diterapkan, adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnose Actual)
Hasil yang diharapkan/criteria evaluasi pasien akan:          
a.       Mempertahankan integritas kulit
b.      Mengidentifikasi factor risiko/ perilaku/ individu untuk mencegah cedera dermal
Intervensi
Rasional
Mandiri

1.      Kaji integritas kulit, catat perubahan pad turgor, gangguan warna, hangat local, eritema, ekskoriasi.
Kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi, dan imobilisasi.

2.      Ubah posisi secara periodic dan pijat permukaan tulang bila pasien tidak bergerak atau di tempat tidur.
Jaringan dapat menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi dan rusak.
3.      Ajarkan permukaan kulit kering dan bersih. Batasi penggunaan sabun.
Area kulit membatasi iskemia jaringan/mempengaruhi hipoksia seluler.
4.      Bantu untuk latihan rentang gerak pasif atau aktif.
Area lembab, terkontaminasi memberikan media yang sangat baik untuk pertumbuhan organisme patogenik. Sabun dapat mengeringkan kulit secara berlebihan dan meningkatkan iritasi.
Kolaborasi

5.      Gunakan alat pelindung, misalnya kulit domba, keranjang, kasur tekanan udara/air, pelindung tumit/siku, dan bantal sesuai indikasi.
Meningkatkan sirkulasi jaringan, mencegah stasis. Menghindari kerusakan kulit dengan mencegah/menurunkan tekanan terhadap permukaan kulit.
                       
5.      Konstipasi Atau Diare
Dapat dihubungkan:             
a.       Penurunan masukan diet
b.      Perubahan proses pencernaan
c.       Efek samping terapi obat
Kemungkinan dibuktikan oleh:       
a.       Perubahan pada frekuensi, karakteristik, dan jumlah feses.
b.      Mual/muntah, penurunan napsu makan
c.       Laporan nyeri abdomen tiba-tiba, kram.
d.      Gangguan bunyi usus.
Hasil yang diharapkan/ kriteria evaluasi pasien akan:       
a.       Membuat/kembali pola normal dari fungsi usus
b.      Menunjukan perubahan perilaku/ pola hidup, yang diperlukan sebagai penyebab, faktor pemberat.
Intervensi
Rasional
Mandiri

1.      Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi, dan jumlah.
Membantu mengidentifikasi penyebab/ faktor pemberat dan intervensi yang tepat.
2.      Auskultasi bunyi usus.
Bunyi usus secara umum meningkat pada diare dan menurun pada konstipasi.
3.      Awasi masukan dan haluaran dengan perhatian khusus pada makanan/ cairan
Dapat mengidentifikasi dehidrasi, kehilangan berlebihan atau alat dalam mengidentifikasi defisiensi diet.
4.      Dorong masukkan cairan 2500-3000 ml/hari dalam toleransi jantung.
Membantu dalam memperbaiki konsistensi feses bila konstipasi. Akan membantu mempertahankan status hidrasi pada diare.
5.      Hindari makanan yang membentuk gas.
Menurunkan distress gastric dan distensi abdomen.
6.      Kaji kondisi kulit perianal dengan sering, catat perubahan dalam kondisi kulit atau mulai kerusakkan. Lakukan perawatan perianal setiap defekasi bila terjadi diare.
Mencegah ekskorisi kulit dan kerusakan.


Kolaborasi
7.      Konsul dengan ahli gizi untuk memberikan diet seimbang dengan tinggi serat dan bulk.

Serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorpsi air dalam alirannya sepanjang traktus intestinal dan dengan demikian menghasilkan bulk, yang bekerja sebagai perangsang untuk defekasi
8.      Berikan pelembek feses, stimulant ringan, laksatif pembentuk bulk, atau enema sesuai indikasi. Pantau keefektifan.
Mempermudah defekasi bila konstipasi terjadi.

9.      Berikan obat antidiare misalnya difenoxilat hidroklorida dengan atropn (Lomotil) dan obat pengabsorpsi air., misalnya Metamucil.
Menurunkan motilitas usus bila diare terjadi.

6.      Infeksi, Risiko Tinggi Terhadap
Faktor risiko meliputi:
a.       Pertahanan sekunder (tidak adekuat mis: penurunan hemoglobin leukopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan)
b.      Pertahanan utama tidak adekuat misalnya kerusakan kulit, stasis cairan tubuh, prosedur invasive, penyakit kronis, malnutrisi
Kemungkinan dibuktikan oleh:       
Tidak dapat diterapkan adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa actual
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:          
a.       Mengidentifikasi perilaku untuk mencegah/ menurunkan risiko infeksi
b.      Meningkatkan penyembuhan luka, bebas drainase purulen atau eritema, dan demam.
Intervensi
Rasional
Mandiri

1.      Tingkatkan cuci tangan yang baik oleh pemberi perawatan dan pasien.
Mencegah kontaminasi silang/ kolonisasi bacterial. Catatan: pasien dengan anemia berat/ aplastik dapat berisiko akibat flora normal kulit.
2.      Pertahankan teknik aseptic ketat pada prosedur/perawatan luka.
Menurunkan risiko kolonisasi/infeksi bakteri.

3.      Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat.
Menurunkan risiko kerusakan kulit/ jaringan dan infeksi
4.      Dorong perubahan posisi/ambulasi yang sering, latihan batuk, dan napas dalam
Meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan membantu memobilisasi sekresi untuk mencegah pneumonia.
5.      Tingkatkan masukan cairan adekuat
Membantu dalam pengenceran secret pernapasan untuk mempermudah pengeluaran dan mencegah statis cairan tubuh (misalnya pernapasan dan ginjal).
6.      Pantau/ batasi pengunjung. Berikan isolasi bila memungkinkan. Batasi tumbuhan hidup/ bunga potong.
Membatasi pemajanan pada bakteri/ infeksi. Perlindungan isolasi dapat dibutuhkan pada anemia aplastik, bila respons imun sangat terganggu.
7.      Pantau suhu. Catat adanya menggigil dan takikardia dengan atau tanpa demam.
Adanya proses inflamasi/infeksi membutuhkan evaluasi/pengobatan

8.      Amati eritema/cairan luka
Indikator infeksi lokal. Catatan: pembentukan pus mungkin tidak ada bila granulosit tertekan.
Kolaborasi

9.      Ambil specimen untuk kultur/ sensitivitas sesuai indikasi.
Membedakan adanya infeksi, mengidentifikai pathogen khusus dan mempengaruhi pilihan pengobatan.
10.  Berikan antiseptik topikal, antibiotic sistemik
Mungkin digunakan secara propilaktik untuk menurunkan kolonisasi atau untuk pengobatan proses infeksi local


7.      Kurang Pengetahuan (Kebutuhan Belajar) Tentang Kondisi Prognosis, Dan Kebutuhan Pengobatan
Dapat dihubungkan dengan:      
a.       kurang terpajan/mengingat.
b.      Salah interpretasi informasi.
c.       Tidak mengenal sumber informasi.
Kemungkinan dibuktikan oleh:  
a.       Pertanyaan, meminta informasi.
b.      Pernyataan salah konsepsi.
c.       Tidak akurat mengikuti instruksi.
d.      Terjadi komplikasi yang dapat di cegah.
Hasil yang diharapkan/ criteria evaluasi pasien akan:     
a.       Menyatakan pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostic, dan rencana pengobatan.
b.      Mengidentifikasi faktor penyebab.
c.       Melakukan tindakan yang perlu / perubahan pola hidup.
Intervensi
Rasional
1.      Berikan informasi tentang anemia spesifik. Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya anemia
Memberikan dasar pengetahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan yang tepat. Menurunkan ansietas dan dapat meningkatkan kerjasama dalam program terapi
2.      Tinjau tujuan dan persiapan untuk pemeriksaan diagnostic
Ansietas/ takut tentang ketidaktahuan meningkatkan tingkat stress, yang selanjutnya meningkatkan beban jantung. Pengetahuan tentang apa yang diperkirakan menurunkan ansietas
3.      Jelaskan bahwa darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium tidak akan memperburuk anemia
Ini sering merupakan kekuatiran yang tidak diungkapkan yang dapat memperkuat ansietas pasien
4.      Tinjau perubahan diet yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan diet khusus (ditentukan oleh tipe anemia/ defisiensi)
Daging merah, hati, kuning telur, sayuran berdaun hijau, biji bersekam dan buah yang dikeringkan adalah sumber besi. Sayuran hijau, hati, dan buah asam adalah sumber asam folat dan vitamin C (meningkatkan absorpsi besi)
5.      Kaji sumber-sumber (misalnya keuangan dan memasak)
Sumber tidak adekuat dapat mempengaruhi kemampuan untuk membuat/ menyiapkan makanan yang tepat
6.      Dorong untuk menghentikan merokok
Menurunkan ketersediaan oksigen dan menyebabkan vasokontriksi
7.      Instrusikan dan peragakan pemberian mandiri preparat besi oral
Penggantian besi biasanya membutuhkan waktu 3-6 bulan sementara injeksi vitamin B12 mungkin perlu untuk selama hidup pasien
8.      Diskusikan pentingnya hanya meminum obat yang diresepkan
Kelebihan dosis obat besi dapat menjadi toksik
9.      Sarankan minum obat dengan makanan atau segera setelah makan
Besi paling baik diabsorpsi pada lambung kosong. Namun garam besi merupakan iritan lambung dan dapat menyebabkan dyspepsia, diare, dan distensi abdomen bila diminum saat lambung kosong
10.  Encerkan preparat cair (lebih baik dengan sari jeruk) dan diberikan dengan sedotan
Besi yang tak dilarutkan dapat menempel di gigi. Asam askorbat meningkatkan absorpsi besi
11.  Peringatkan bahwa feses dapat tampak hitam kehijauan
Pengeluaran besi berlebihan akan mengubah warna feses
12.  Tekankan pentingnya memelihara kebersihan mulut
Suplemen besi tertentu (misalnya feosol) dapat meninggalkan sisa pada gigi dan gusi
13.  Instruksikan pasien/ orang terdekat tentang pemberian besi parenteral
Mencegah ekstravasasi (kebocoran) dengan nyeri yang menyertai
14.  Pemberian obat dengan Z-track
Obat dapat mewarnai kulit
15.  Gunakan jarum terpisah untuk mengambil obat dan injeksi
Kemungkinan efek samping terapi memerlukan evaluasi ulang untuk pilihan dan dosis obat
16.  Peringatkan tentang kemungkinan reaksi sistemik, (misalnya kemerahan pada wajah, muntah, mual, mialgia) dan diskusikan pentingnya melaporkan gejala
Penurunan produksi lekosit potensial risiko untuk infeksi, catatan. Cairan purulen bukan bentuk abses granulosit (aplastik)
17.  Diskusikan peningkatan kerentanan terhadap infeksi, tanda/gejala yang memerlukan intervensi medis, misalnya demam, sakit tenggorok: eritema/ luka basah, urine berkabut, rasa terbakar saat defekasi
Menurunkan risiko perdarahan dari jaringan yang rapuh

18.  Identifikasi masalah keamanan, misalnya bukti meniup hidung dengan keras, olahraga kontak, konstipasi/ feses keras, penggunaan pencukur elektrik, sikat gigi halus
Efek anemia (lesi oral) dan atau suplemen besi meningkatkan risiko infeksi/bakterimia

19.  Telaah kebersihan mulut, pentingnya perawatan gigi teratur
Meningkatkan kecenderungan perdarahan
20.  Instruksikan untuk menghindari produk aspirin
Mungkin memerlukan bantuan dengan persiapan makan/ penjual makanan

D.    Implementasi ( Menurut Smeltzer, Suzanne C. )

Pendidikan dan pencegahan kepada pasien
Pendidikan dan pencegahan sangat penting karena defisien besi sangat sering pada wanita menstruasi dan hamil. Sumber makanan tinggi besi meliputi daging organ (hati sapi, ayam atau anak sapi), daging lainnya, kacang-kacangan (black, pinto dangarbazo), sayuran hijau, kismis, dan sirup manis, makan-makanan kaya-besi bersama dengan sumber vitamin C akan meningkatkan absorbs. Antasida tidak boleh dimakan bersama besi karena fosfat akan membentuk kompleks dengan besi.
Pemilihan diet seimbang sangat dianjurkan. Bimbingan nutrisi perlu diberikan kepada mereka yang di abnormalnya tidak adekuat. Pasien yang mempunyai riwayat “nyemil” perlu bombing bahwa diet semacam ini tidak mengandung cukup besi yang dapat diabsorbsi.
Pada beberapa kasus, pemberian besi dekstran IM dan IV perlu diresepkan, artinya, apabila besi oral tidak dapat diabsorbsi atau tidak dapat ditoleransi atau apabila dibutuhkan sejumlah besar besi. Lebih disukai rute IV. Injeksi IM mengakibatkan nyeri lokal, dan dapat menimbulkan pewarnaan kulit. Besi dekstran harus diinjeksikan dalam-dalan pada masing-masing pantat menggunakan teknik Z-track. Sebelum pemberian dosis penuh secara parenteral, perlu diberikan percobaan dengan dosis kecil untuk menghindari risiko anafilaksis, yang lebih sering pada injeksi IM dibandingkan injeksi IV.

Pada pasien anemia defisiensi-besi didorong untuk melanjutkan terapi sepanjang yang diresepkan, meskipun mungkin mereka tidak mengalami kelemahan. Apabila suplemen besi menimbulkan keluhan lambung, pasien dinasehati untuk menelannya bersama makanan sampai gejala menghilang, dan kemudian kembali pada jadwal di antara waktu makan agar
absorbsinya maksimum.

Pasien harus diberi informasi bahwa garam besi sering merubah warna tinja menjadi hijau gelap atau hitam. Besi bentuk cair dapat mewarnai gigi; maka pasien dinasehati untuk minum obat ini dengan sedotan, dan membilas mulut dengan air, serta melaksanakan hygiene mulut yang baik. Karena sulfat ferosus cenderung dideposisi di gigi dan gusi, pasien harus dinasehati untuk melakukan upaya higine mulut sesering mungkin.

E.     Evaluasi ( Menurut Smeltzer, Suzanne C. )
Hasil yang Diharapkan :
1.      Mampu bertoleransi dengan aktivitas normal
Mengikuti rencana (progresif istrahat, aktivitas, dan latihan.)
2.      Mencapai atau mempertahankan nutrisi yang adekuat
a.       Makan makanan tinggi protein, kalori dan vitamin
b.      Menghindari makanan yang menyebabkan iritasi lambung
c.       Mengembangkan rencana makan yang memperbaiki nutrisi optimal
3.      Tidak mengalami komplikasi
a.       Menghindari aktivitas yang memyebabkan palpitasi, pusing, dan dispnu
b.      Mempergunakan upaya istrahat dan kerja untuk mengurangi dispnu
c.       Mempunyai tanda-tanda vital normal
d.      Tidak mengalami tanda retensi cairan (curah urin berkurang, distensi vena leher)
e.       Berorientasi terhadap nama, waktu, dan tempat situasi
f.       Tetap bebas dari cedera























BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sel darah merah adalah sel darah yang paling banyak yang berada dalam tubuh kita yang membawa oksigen dan zat-zat lainnya dimana sel darah merah merupakan sel-sel mikroskopis dan tidak memiliki inti sel. Sel darah merah memerlukan protein karena strukturnya terbentuk dari asam amino. Sel darah merah juga memerlukan zat besi, sehingga untuk membentuk penggantinya diperlukan diet seimbang yang berisi zat besi. Wanita memerlukan lebih banyak zat besi karena beberapa di antaranya dibuang sewaktu menstruasi. Sewaktu hamil diperlukan banyak lagi untuk perkembangan janin dan pembuatan susu. Sel darah merah dibentuk dalam sumsum tulang, terutama dari tulang pendek, pipih, dan tak beraturan, dari jaringan kanselus pada ujung tulang pipa, dari sumsum dalam batang iga-iga, dan dari sternum. Perkembangan sel darah dalam sumsum tulang melalui berbagai tahap : mula-mula besar dan berisi nucleus, tetapi tidak ada hemoglobin. Kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya, kemudian baru diedarkan ke dalam sirkulasi darah. Rata-rata panjang hidup darah merah kira-kira 115 hari. Sel menjadi usung dan dihancurkan dalam system retikulo-endotelial, terutama dalam limpa dan hati. Globin dari hemoglobin dipecah menjadi asam amino untuk digunakan sebagai protein dalam pembentukan sel darah merah lagi. Sisa hem dari hemoglobin diubah menjadi bilirubin (pigmen kuning) dan biliverdin yang berwarna kehijau-hijauan dan dapat dilihat pada perubahan warna hemoglobin yang rusak pada luka memar. Bila terjadi perdarahan maka sel merah dengan hemoglobinnya sebagai pembawa oksigen, hilang. Pada perdarahan sedang, sel-sel itu diganti dalam waktu beberapa minggu berikutnya. Tetapi bila kadar hemoglobin turun sampai 40% atau dibawahnya, maka diperlukan tranfusi darah.

Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, eleman tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah dan
ada banyak tipe anemia dengan beragam penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 1999).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya mineral FE sebagai bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit (Arif Mansjoer, kapita selekta, jilid 2 edisi 3, Jakarta 1999). Anemia secara umum adalah turunnya kadar sel darah merah atau hemoglobin dalam darah.
Pengkajian yang utama pada klien dengan gangguan anemia defisiensi besi yaitu meliputi pengkajian data dasar aktivitas, sirkulasi, makanan, integritas ego, pernapasan dan seksualitas. Diagnosa keperawatan pada penderita anemia defisiensi besi yaitu meliputi Perfusi Jaringan Perubahan berhubungan dengan Penurunan komponen selular yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrisi ke sel. Intoleran Aktivitas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara suplasi oksigen (pengiriman) dan kebutuhan. Nutrisi, Perubahan: Kurang Dari kebutuhan Tubuh berhubungan denganKegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi Nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sdm normal. Integritas Kulit, Kerusakan, Risiko Tinggi Terhadap berhubungan dengan Perubahan sirkulasi dan neurologis (anemia \) / Gangguan mobilitas / Defisit nutrisi. Konstipasi Atau Diare berhubungan dengan Penurunan masukan diet / Perubahan proses pencernaan / Efek samping terapi obat. Infeksi, Risiko Tinggi Terhadap berhubungan dengan Pertahanan sekunder (tidak adekuat mis: penurunan hemoglobin leukopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan). Kurang Pengetahuan (Kebutuhan Belajar) Tentang Kondisi Prognosis, Dan Kebutuhan Pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat /Salah interpretasi informasi.

B.     Saran
Perawat harus sigap dalam penanganan penyakit Anemia defisiensi besi, karena akan menjadi fatal jika terlambat menanganinya. Selain itu perawat juga harus mampu memberikan health education kepada klien dan keluarga agar mereka paham dengan penyakit anemia defisiensi besi dan bagaimana cara pengobatannya.

                                                DAFTAR PUSTAKA

Amin Huda Nurarif. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC

Dr. Lyndon Saputra. 2011. Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Tangerang: Binapura Aksara

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia: dari sel ke system. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

0 komentar:

Posting Komentar