Senin, 28 November 2016

ANTROPHOLOGY : FAKTOR BUDAYA DALAM PENGKAJIAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan. Sebagai makhluk hidup manusia pun membutuhkan makanan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, setiap orang senantiasa berusaha mencari makanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan ini, fungsi makanan (lebih luas yaitu komoditas ekonomi) adalah alat selector bagi kelangsungan hidup manusia. Makanan atau pola makanan menjadi alat alamiah yang menyeleksi manusia atau pengelompokan manusia. Perbedaan kepemilikan sumber dan bahan makanan mengelompokkan manusia menjadi orang kaya dan orang miskin, orang modern dan orang tradisional, serta perbedaan gaya hidup mengenai makanan mengelompokkan manusia menjadi manusia gaul atau tidak.
Berdasarkan pertimbangan ini, keberadaan makanan ternyata memberikan warna-warna kehidupan yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Makanan bukan lagi sekedar benda ekonomi yang “hampa makna”. Makanan justru merupakan entitas budaya yang tumbuh dan berkembang dalam tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan konteks social budaya, maka makanan itu ternyata mengandung makna yang lebih luas dibandingkan sekedar bahan konsumsi manusia.
Studi mengenai makanan dalam konteks budayanya, yang menunjuk kepada masalah-masalah yang praktis ini, jelas merupakan suatu peranan para ahli antropologi., sebagaimana halnya dengan kepercayaan dan praktik medis, para ahli antropologi sejak hari pertama dalam penelitian lapangannya, telah mengumpulkan keterangan tentang praktik-praktik makan dan kepercayaan tentang makanan dari penduduk yang mereka observasi. Dan sebagaimana perhatian terhadap kepercayaan dan praktik medis, apabila digabungkan dengan perhatian praktis tentang kesehatan, akan mengarah kepada antropologi kesehatan.

1.2  Tujuan
a.       Tujuan umum :
1.      Mengetahui persepsi budaya dan makanan.
2.      Mengetahui makanan dan identitas budaya.
3.      Mengetahui makanan dalam konteks budaya.
4.      Mengetahui pembatasan budaya terhadap kecukupan gizi.
5.      Mengetahui masalah gizi dalam perubahan budaya.
b.      Tujuan khusus :
1.      menambah pengetahuan tentang etika dan hukum kesehatan
2.      untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropology















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,pakaian, bangunan, dan karya seni.

2.2  Persepsi Budaya dan Makanan
Dalam catatan antropologi, peradaban manusia dibedakan berdasarkan mata pencaharian masyarakat. Tahap pertama ditandai dengan adanya peradaban manusia yang didominasi oleh tradisi memburu dan meramu. Pola konsumsi manusia pada masa itu dengan makan-makanan hasil ramuan bahan tumbuhan yang dikumpulkan dari hutan dan/atau memakan hasil hutan yang diburu dan kemudian dibakar.
Setelah terjadi revolusi atau gelombang perdaban yang pertama, manusia beranjak pada tahapan agrikultur. Mata pencaharian manusia sudah bukan lagi memburu dan meramu, melainkan sudah pada tahap bercocok tanam,. Pada tahap ini pola dan jenis makanan yang dikonsumsi pun adalah makanan hasil olahan.
Namun, setelah adanya revolusi industry atau gelombang ketiga, olahan manusia ini berkembang dengan pesat. Dengan bantuan teknologi dan industrialisasi, berbagai jenis makanan, baik yang merupakan olahan dari bahan dasar tumbuhan dan hewan, maupun dengan bahan kimiawi bermunculan ke permukaan. Pada saat ini, manusia sudah bukan lagi hanya memakan hasil tanaman melainkan hasil olahan industri.
Setiap masyarakat memiliki persepsi yang berbeda mengenai benda yang dikonsumsi. Perbedaan persepsi sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakatnya. Oleh karena itu, bila bertemu beberapa orang dengan latar belakang budaya yang berbeda akan menunjukkan, persepsi nilai terhadapa makanan yang berbeda.
Pola makan masyarakat modern cenderung mengonsumsi makanan cepat saji. Hal ini mereka lakukan karena tingginya jam kerja atau tingginya kompetisi hidup yang membutuhkan kerja keras. Padahal dibalik pola makan tersebut, misalnya hasil olahan siap santap, memiliki kandungan garam yang sangat tinggi.

2.3  Makanan dan Identitas Budaya
Melanjutkan kajian tersebut, maka telah mengenai makna budaya dari sebuah makanan menjadi sangat penting untuk dipahami oleh berbagai kalangan. Pengetahuan seperti ini, selain dapat bermanfaat untuk mengembangkan sikap bijak terhadap persepsi masyarakat lain, juga untuk menghindari gizi buruk akibat adanya kesalahan persepsi terhadap satu jenis makanan tertentu. Terkait dengan masalah ini, ada beberapa nilai budaya makanan yang perlu diperhatikan.

2.4Kebutuhan fisiologi
David morely adalah orang pertama yang pertama mengenalkan penggunaan grafik tumbuh kembang fidik anak sebagai alat untuk memantau secara longitudinal kecukupan gizi anak dan mulai diadopsi di indonesia sejak tahun 1974 dengan sebutan kartu menuju sehat (KMS).
Setiap tahap tubuh kembang anak membutuhkan asupan gizi yang berbeda. Oleh, karna itu setiap orang tua dan tenaga medis perlu memperhatikan aspek asupan gizi bagi seseorang tahap tumbuh kembang anak. Untuk sekedar contoh , kebutuhan akan garam dapur mengandung unsur sodium dan chlor (NaCl). Unsur sodium penting untuk mengatur keseimbangan cairan didalam tubuh, selain bertugas didalam transmisi saraf atau kerja otot.
Kita boleh tidak makan garam, asal ada sodium dalam menu harian. Banyak menu harian yang menyimpan sodium dan itu tidak bisa mencukupi kebutuhan tubuh . namun, karna sodium yang secara alami terkandung dalam bahan makanan tidak berkaitan dengan chlor, tak memberi cita rasa asin pada lidah kita.itu berarti, kendati menu yang dikomsumsi tanpa garam atau tak bercita rasa asin, tidak bermakna tubuh tak memperoleh kecukupan sodium. Walau tidak terasa asin daging sapi, sarden, keju, dan kripik kentang kaya unsur sodium.
Kesimpulan pemikiran ini menekankan bahwa mengkomsumsi makanan bertujuan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan fisiologi seseorang oleh karena itu usaha menjaga keseimbangan gizi dan/atau mengkomsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna merupakan usaha untuk mendukung pada tujuan makanan dari sisi fisiologi.

2.5Makanan sebagai identitas kelompok
Nasi adalah salah satu komoditas makanan utama bagi masyarakat sunda- jawa. Sementara jagung menjadi komoditas komponen utama bagi masyarakat madura. Bagi orang barat, mereka tidak membutuhkan nasi setelah mengonsumsi roti karena roti merupakan makanan utama dalam budaya barat. Persepsi dan penilaian seperti ini merupakan makna makanan sebagai budaya utama sebuah masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila orang sunda, kendati sudah makan roti kadangkala masih berkata belum makan karena dirinya belum menyantap nasi.
Karena adanya kesangsian terhadap makanan hasil olahan atau makanan instan, banyak diantara masyarakat kota yang sudah mulai berpindah ke tradisi vegetarian.

2.6Makanan sebagai nilai sakral
Di luar makna budaya, dalam kehidupan masyarakat indonesia makanan pun ada yang mengandung nilai sakral dan ada yang mengandung nilai profan. Khusus untuk makanan yang memiliki nilai sakral, di antaranya dapat ditemukan dalam beberapa agama atau budaya daerah indonesia.
Daging kambing kurban dan beras zakat merupakan makanan sakral dalam kehidupan bagi kalangan muslim. Kue sakramen merupakan makanan sakral bagi kalangan nasrani. Sapi adalah hewan sakral bagi masyarakat hindu. Rokok cerutu merupakan komoditas sakral bagi masyarakat jawa karena biasa digunakan sebagai bagian dari sesaji bagi nenek moyangnya.
Bagi masyarakat islam, mengonsumsi makanan ini, tidak cukup hanya dengan memenuhi syarat bersih (thayyib), tetapi juga harus memenuhi syarat halal, artinya cara mendapatkan dan cara mengolahnya sesuai dengan aturan dan norma yang ditentukan oleh ajaran agama. Dengan demikian, bagi masyarakat islam mengonsumsi makanan merupakan bagian dari praktik agama itu sendiri. Inilah yang dimaksudkan dengan makanan mengandung nilai sakral.
Dalam tradisi jawa ada ritual memakan makanan tertentu yang terbiasa muncul dalam  ritual keyakinannya. Mutih adalah ritual makan orang jawa untuk mengonsumsi yang tidak berasa (tawar) dalam rangka melakukan tirakat atau penyucian batin untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kasus lain, kelompok pencari kedigjayaan (istilah jawanya “ngilmu”), ada yang mensyaratkan makan bangkai - misalnya bangkai manusia – sebagai lelaku untuk mendapatkan ilmu “ngilmu” tersebut.

2.7Makanan sebagai kebutuhan medis
Seiring dengan perkembangan ilmu kesehatan, sekarang sudah banyak buku dan temuan penelitian yang mengulas mengenai manfaat makanan bagi peningkatan kesehatan. Kebutuhan vitamin atau gizi dapat dipenuhi jika seseorang mengonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna. Hembing telah mengembangkan pengobatan alternatif yang bersumber dari makanan atau ramuan. Hal ini menunjukkan bahwa memakan suatu makanan memiliki nilai medis.
Bahkan – sekali lagi, kendatipun belum didukung penelitian yang mencukupi – mengunyah  karet, sekarang diakui sebagai salah satu pilihan untuk olahraga wajah. Sehingga pada akhirnya kepenatan hidup dapat dikurangi.
Merujuk pada paparan tersebut, tidak salah lagi dapat dikatakan bahwa makanan bisa menjadi sumber penyebab hadirnya sebuah penyakit. Tetapi tidak dapat diingkari pula, bahwa makanan memiliki peran dan fungsi nyata sebagai sumber terapi kesehatan.
Namun demikian, mengonsumsi makanan yang mengandung kandungan gizi seimbang (misalnya 4 sehat 5 sempurna), belumlah cukup untuk membangun individu yang sehat. Dalam penelitian terakhir, dikatakan bahwa untuk meningkatan kualitas kesehatan individu perlu menambahkan makanan yang 4 sehat 5 sempurna dengan gerak.
Dalam piramida tersebut, untuk membangun kualitas pribadi yang sehat, 4 sehat 5  perlu dipadukan dengan gerak atau aktivitas olahraga.
Pandangan sejalan dengan pandangan tri-energetik yang memberikan penekanan pentingnya energi tubuh atau gerak dalam membangun jiwa dan pribadi yang sehat. Pada konteks inilah, makanan merupakan bagian dari kebutuhan medis.

2.8 MAKANAN DALAM KONTEKS BUDAYA
Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak-memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan, dan tahayul-tahayul yang berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi makanan pendeknya, sebagai suatu kategori budaya yang penting. Dan, sebagai suatu kategori budaya yang penting, ahli-ahli antropologi melihat makanan mempengaruhi dan berkaitan dengan banyak kategori budaya lainnya. Meskipun mereka mengakui bahwa makanan adalah yang utama bagi kehidupan, yaitu di atas segalanya merupakan suatu gejala fisiologi, para ahli antropologhi budaya paling sedikit menaruh perhatian khusus terhadap peranan makanan dalam kebudayaan sebagai kegiatan ekspresif yang memperkuat kembali hubungan-hubungan social, sanksi-sanksi, kepercayaan-kepercayaan dan agama, menentukan banyak pola ekonomi dan menguasai sebagaian besar dari kehidupan sehari-hari.
1.      Kebudayaan menentukan makanan
Semula terpikir, nampaknya aneh untuk menanyakan, “apakah makanan itu?”. Makanan adalah yang tumbuh di ladang-ladang, yang berasal dari laut, yang dijual dipasar dan yang muncul di meja kita pada waktu makan. Pertanyaan itu, sebagaimana pun juga dasar dari pengertian dan gizi. Sebagai suatu gejala budaya, makanan bukanlah semata-mata suatu produk organic dengan kualitas-kualitas biokimia, yang dapat dipakai oleh opganisme yang hidup termasuk manusia. Tidak ada suatu kelompok pun, bahkan dalam keadaan kelaparan yang akut, akan mempergunakan semua zat gizi yang ada sebagai makanan. Karena pantangan agama, tahayul, kepercayaan tentang kesehatan dan suatu peristiwa yang kebetulan dalam sejarah, ada bahan-bahan makanan bergizi baik yang tidak boleh dimakan. Makanan adalah suatu konsep budaya, suatu pernyataan yang sesungguhnya mengatakan “zat ini sesuai bagi kebutuhan gizi kita.” Sedemikian kuat kepercayaan-kepercayaan kita mengenai apa yang dianggap makanan dan apa yang dianggap bukan makanan sehingga terbukti sangat sukar untuk meyakinkan orang untuk menyesuaikan makanan tradisional mereka demi kepentingan gizi yang baik.
Di Amerika Serikat, kita mengenal variasi makanan yang sangat luas akibat asal kita yang multi-etnik dan sistem produksi makanan yang berlimpah ruah. Namun,ada banyak makanan bergizii yang sangat dihargai oleh warga budaya lain yang kita kenal, yang biasanya tidak kita anggap sebagai makanan : kuda, anjing, burung-burung kecil seperti lark. Daftar tersebut dapat diperluas beberapa kali lagi dan kenyataannya mungkin sekali, suatu makanan yang dari segi gizi dapat diterima, dapat digolongkan sebagai “makanan” yang sebagaian besar orang Amerika tidak pernah memakannya.
Selanjutnya pilihan-pilihan pribadi lebih mengurangi lagi variasi makanan yang disantap oleh setiap individu. Meskipun sejumlah orang gemar mencoba-coba makanan baru, sebagian besar lagi paling senang dengan menu yang telah dikenal. Di Amerika Serikat, beberapa penelitian menunjukkan bahwa makanan yang “paling tidak disukai”, termasuk buttermilk 9cairan asam dari mentega), parsnip (jenis akar-akaran), terong, hominy (bagian dari jagung) tiram, turnip (sejenis akar-akaran) , kaki babi, dan organ-organ dalam seperti otak, hati, ginjal, jantung, dan babat (lihat Hall dan Hall 1939; Wallen 1943).
2.      Nafsu makan dan lapar
Bukan makanan (food saja dibatasi budaya, namun juga konsep tentang makanan (meal), kapan dimakannya, terdiri dari apa, dan etiket makanan. Diantara masyarakat yang cukup makanan, kebudayaan makanan mendikte, kapan mereka merasa lapar dan apa, serta banyak mereka harus makan agar memuaskan rasa lapar. Perut sebagian orang Amerika mengirim isyarat lapar terus-menerus sekitar tengah hari-meskipun sarapannya lebih dari cukup sedangkan Meksiko, perut berada dalam keadaan pasif sampai jam 3 atau jam 4 sore.
Dengan kata lain, nafsu makan dan lapar adalah gejala yang berhubungan, namun juga berbeda. Nafsu makan dan apa yang diperlukan untuk memuaskannya, adalah suatu konsep budaya yang dapat sangat berbeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya.
Dalam banyak masyarakat, definisi lengkap dari makanan tidak dapat dibuat tanpa merujuk kepadan konsep makanan dan waktu makan. Di Amerika biasanya yang kita pikirkan sebagai makanan adalah sesuatu jenis yang nilai gizinya telah diakui, tanpa menghiraukan kapan disantapnya, meskipun biasanya, kopi pada tengah hari dan kopi pada sore hari biarpun memakai krim dan gula yang bergizi tidak dianggap sebagai mkanan. Di daerah Meksiko misalnya makanan adalah yazng disantap pada jam-jam makan. Dalam survey gizi terdahulu di Meksiko, perbedaan di pedesaan ini tidak selalu diperhatikan. Jika ditanyakan, makanan apa yang mereka makan pada hari sebelumnya, para informan dengan sungguh-sungguh membuat daftar dari berbagai makanan yang disantap pada setiap waktu makan. Akibatnya, banyak macam makanan yang bergizi dan penting, termasuk makanan kecil seperti larva dan serangga, tidak termasuk dalam analisis, dan makanan itu kelihatan kurang seimbang dengan sebenarnya.

3.      Semua masyarakat mengklafisikasikan makanan.
Dalam setiap kelompok, makanan diklasifikasikan dengan cara-cara yang bervariasi : apa yang layak bagi waktu makan yang resmi, dan sebagai makanan ringan di antara waktu makan; dan menurut pemikiran tentang status dan prestise, menurut pertemuan social, usia, keadaan sakit dan sehat, dan menurut nilai-nilai simbolik secara ritual.
Pertimbangan status memainkan peranan yang penting, terutama dalam merubah kebiasaan makanan. Orang Meksiko di pedesaan, misalnya lebih suka tortilitas jagung bila mereka ingin mengenyangkan perut, namun roti tawar (putih) semakin dibuat sebagai makanan status, terutama untuk dimakan pada waktub sarapan. Makanan yang dipandang bermutu bermutu, dibungkus dan sangat luas diiklankan tampaknya mempunyai daya penarik yang tak tertahan bagi orang-orang di Negara sedang berkembang, meskipun banyak dari makanan tradisional. Negara-negara maju juga mencerminkan ide-ide status yang lepas dari kenyataan gizi yang sebenarnya, seperti, misalnya, kegemaran yang hamper universal kepada daging sapi dibandingkan dengan daging babi atau domba.
Mungkin semua orang mengklasifikasikan makanan yang dihubungkan dengan kesehatan dan penyakit dua dengan tingkatan-tingkatan siklus kehidupan. Pantangan-pantangan makanan dalam saat sebelum dan sesudah kelahiran dicatat oleh para ajli antropologi dalam masyarakat-masyarakat yang mereka pelajari, dan pantangan makanan merupakan peraturan di waktu orang jatuh sakit.kemungkinan klasifikasi makanan yang paling tersebar luas, dan khususnya yang penting dalam kaitannya dengan kesehatan, adalah dikotomi “panas dingin” yang diuraikan dalam diskusi tentang patologi. Kualitas lokal apa pun yang di berikan kepada setiap makanan, tema yang umum adalah bahwa melalui keseimbangan makanan yang bijaksana dan penghindaran jumlah yang berkelibihan antar panas dan dingin, kesehatan dapat dipertahankan sebaik-baiknya.
4.      Peranan-peranan simbolik dari makanan
Makanan, nyatanya merupakan sesuatu yang pokok dalam hidup. Makanan juga penting bagi pergaulan social. Jika tidak ada cara-cara di mana makanan dimanipulasikan secara simbolis untuk menyatakan persepsi terhadap hubungan antara individu-individu dan kelompok-kelompok, juga di dalam kelompok, sukarlah untuk meramalkan, bagaimana kehidupan social dapat terjadi.

A.    MAKANAN DAN STRESS

Makanan-makanan khusus dapat merupakan pencerminan identitas dari yang memakannya, melebihi benda – benda budaya lainnya dengan demikian,makanan memberi rasa ketentraman dalam keadaan – keadaan yang menyebabkan stress. Sejauh mungkin banyak imigran di Amerika serikat melanjutkan pola-pola makanan seperti yang dimakan di rumah mereka . yang seringkali diperoleh dengan usaha dan biaya yang berat. Sebaliknya, orang amerika yang tinggal di luar Negara mereka lebih senang bilamana mereka bisa memperoleh “wakil” Amerika dalam bentuk makanan yang dibekukan, makanan kaleng, makanan dalam kotak yang biasanya mereka makan di negaranya. Nilai keamanan psiokologis dari makanan juga dibuktikan dengan suatu kecendrungan umum untuk makan melebihi biasanya dan makan makanan kecil diantara waktu-waktu makan , apabila seseorang merasa tidak bahagia atau mengalami keadaan stress yang berat .
Burgess dan Dean menyatakan bahwa sikap-sikap terhadap makanan sering mencerminkan persepsi tentang bahaya maupun perasaan stress. Menurut mereka, suatu cara untuk mengatasi stress dari dalam, sehubungan dengan ancaman terhadap jiwa atau terhadap keamanan emosional adalah melebih-lebihkan bahaya dari luar, cara lainnya adalah mempersalahkan ancaman dari dalam akibat pengaruh luar. Berbagai macam usaha magis dilakukan untuk menghindari bahaya dari luar untuk mengimbangi suatu jenis ancaman tertentu terhadap ancaman lain. “Praktek memberi makanan yang dipanasi atau didinginkan khususnya dalam kondisi klinis tertentu mungkin merupakan suatu bentuk dari jenis teknik keseimbangan ini serupa halnya menghindari makanan tertentu mungkin tanpa disadari merupakan suatu teknik magis untuk mengelakan apa yang dipandang sebagai pengaruh Currier juga mengintrepetasikan dikotomi panas-dingin meksiko dalam pengertian isi,simbolis maupun pengertian luarnya yang berhubungan dengan kesehatan . “Dingin” dituliskan dengan aspek-aspek keberadaan yang mengancam, sedangkan hangat dikaitkan dengan rasa aman” (Currier 1966:256). Dengan demikian maka baik untuk di catat bahwa sebagian besar orang Amerika serikat menilai makanan panas lebih baik daripada dingin walaupun tidak Nampak korelasi kepercayaan itu dengan gizi. Meskipun demikian, kita bersusah payah untuk memastikan bahwa paling sedikit satu kali dalam sehari, kita menghidangkan makanan panas, dan banyak orang merasa lebih mampu menghadapi tantangan sehari-hari jika mereka keluar rumah setelah diperkuat dengan sarapan yang panas .


2.9PEMBATASAN BUDAYA TERHADAP KECUKUPAN GIZI
Kecuali di tempat-tempat dimana tekanan penduduk melampaui batas, masyarakat rumpun dan masyarakat pedesaan yang telah lama menetap di tempat yang sama biasanya telah berusaha dengan sangat baik dalam mengekspoitasi lingkungan mereka untuk mendapatkan makanan yang seimbang . Walaupun sumber-sumber pangan yang tersedia bagi mereka mungkin tidak didefinisikan sebagai “makanan” melalui uji coba mereka belajar mengenai apa yang mereka butuhkan untuk menjaga kekuatan dan kesehatan mereka . Dengan memanfaatkan kombinasi makanan pokon dan makanan musiman seperti buah-buahan dan daun-daun untuk jamu, buah berry,grub dan serangga , mereka sering telah mencapai makanan yang memuaskan. Apa yang sering belum dipelajari oleh masyarakat rumpun dan pedesaan adalah hubungan antara makanan dan kesehatan dan antara makanan yang baik dengan kehamilan,juga kebutuhan kebutuhan akan makanan khusus bagi anak setelah penyapihan. Walaupun gizi buruk di dunia ini banyak disebabkan oleh kekurangan pangan yang mutlak, masalahnya bertambah parah akibat berbagai kepercayaan budaya dan pantang-pantangan yang sering membatasi pemanfaatan makanan yang tersedia . Maka dalam perencanaan kesehatan, masalahnya tidak terbatas pada pencarian cara-cara untuk menyediakan lebih banyak bahan makanan, melainkan harus pula dicarikan cara – cara untuk memastikan bahwa bahan makanan yang tersedia digunakan secara efektif.

1.      Kegagalan untuk melihat hubungan antara makanan dan kesehatan
Dasar kearifan konvesional mengenai makanan seperti yang dicatat pada bab sebelum ditandai oleh kesenjangan yang besar dalam pemahaman tentang bagaimana makanan itu adalah kegagalan yang berulang kali terjadi untuk mengenal hubungan yang pasti antara makanan dan kesehatan . Susunan makanan yang cukup cenderung ditafsirkan dalam rangka kuantitas bukan kualitasnya mengenai makanan pokok yang cukup bukan pula dari keseimbangannya dalam hal berbagai makanan . Karena itu gizi buruk bisa terjadi di tempat-tempat di mana sebenernya makanan cukup.
Sebagai ilustrasi , shaman menemukan bahwa dikalangan penduduk adhola, uganda timur,”tidak ada konseptentang perbedaan nilai gizi dari bahan-bahan makanan,orang adhola tidak melihat kaitan antara makanan dan kesehatan tidak ada dalam kepercayaan masyarakat adhola bahwa penyakit dapat disebabkan oleh kekurangan jenis makanan tertentu”(Sharman 1970:81). Dan di desa chinaura di india bagian utara, Hasan menemukan bahwa nasyarakat “umumnya oercaya bahwa kuantitas makanan yang cukup adalah yang penting. Konsep kualitas hanya terbatas pada makanan-makanan tertentu yang dianggap memperkuat, tidak terdapat perbedaan antara makanan pelindung dan makanan penghasil energi”. Jelliffe dan bennet yang memiliki pengalaman yang luas dengan berbagai masalah nutrisi di daerah tropis berbicara mengenai masalah “makanan istimewa” yakni makanan pokok yang kecuali diberi tambahan makanan lain, mengenyangkan tetapi megakibatkan gizi buruk bagi yang memakan. Di buganda mereka menunjukan bahwa “nutrien yang tersedia memang untuk mencegah gizi buruk namun ekurangan kalori-protein sejak balita umum terdapat pada masyarakat itu,karena mereka tidak memanfaatkan sepenuhnya makanan bergizi yang tersedia”(Jellife dan Bennet 1962:175-75). Kegagalan untuk menggunakan apa yang tersedia kata mereka seringkali disebabkan oleh kepercayaan bahwa yang di anggap makanan hanyalah “makanan istimewa” sedangkan makanan-makanan lainnya tidak penting .

2.      Kegagalan untuk mengenali kebutuhan gizi pada anak-anak
Kesenjangan besar yang kedua dalam kearifan makanan tradisional pada masyarakat rumpun dan masyarakat petani adalah seringnya kegagalan mereka untuk mengenali bahwa anak-anak mempunyai kebutuhan-kebutuhan gizi khusus, baik sebelum maupun setelah penyapihan. Terlalu sering anak-anak dianggap sebagai orang dewasa yang kecih sehubungan dengan gizi . Hendrickse mengemukakan masalah di daerah tropis Afrika, “kenyataan bahwa seorang balita boleh mendapatkan sedikit daging,ikan atau telur tidak di anggap penting karena tidak ada pengertian tentang kebutuhan khusus bagi anak-anak akan makanan yang mengandung protein, dan dalam tiap kasus pantangan lokal mungkin memberi pembatasan pula terhadap konsumsi berbagai makanan tersebut oleh anak” Anak” (Hendrickse 1966: 344). Berbicara khususnya tentang orang adhola di Uganda Timur, Sharman menulis bahwa “Tidak terpikir bahwa anak-anak memerlukan makanan khusus dan tidak ada makanan yang khusus dimasak untuk mereka “(Sharman 1970: 82). Jellife dan Bennet juga mencatat hal yang serupa. “ Di banyak tempat, pikiran bahwa anak-anak memerlukan makanan yang dimasak khusus dan makan tiga atau empat kali sehari adalah hal yang belum pernah mereka dengar, orang tidak membuat hubungan antara dengan pertumbuhan dan makanan seperti lazimnya yang dilakukan orang barat, atau antara gizi buruk dan kekurangan makanan tertentu” (Jellife  dan Bennet 1962: 175).

2.10MASALAH – MASALAH GIZI DALAM PERUBAHAN BUDAYA
          Bilamana kehidupan orang pedesaan yang telah lama mapan, yang telah dapat mencapai (kebutuhan) makana yang wajar dan memuaskan, digoncangkan oleh masuknya tanaman produksi, pekerjaan buruh, migrasi ke kota-kota besar, penurunan gizi pun sering terjadi (Foster 1973: 61-63). Penemuan Burgess dan Dean menggambarkan yang umum. “meskipun terdapat suatu kecenderungan umum bahwa makanan menjadi lebih baik dengan bertmbahnya penghasilan, kebalikannya, makanan juga bisa lebih buruk, terutama dalam perubahan dari ekonomi susbsistem menjadi ekonomi uang. Apabila tanaman produksi seperti coklat, kapas atau tembakau menggantikan tanaman pangan tradisional atau bilamana keluarga-keluarga meninggalkan tugas-tugas tradisional untuk berkeja denga gaji, makanan yang kurang nilai gizinya, seperti singkong atau makanan-makanan yang dapat dibeli, menggantikan makanan kebiasaannya yang lebih baik “(Burgess dan Dean 1962: 17). Di Pasifik Selatan, misalnya: tingkat-tingkatan gizi menurun harga apabila harga kopra naik, karena para penduduk membeli daging dan ikan kaleng, gula dan terigu pabrik, bukannya menagkap ikan dan menambah bahan pangan (Ibid).
Suatu hubungan yang umum antara tanaman produksi dan tingkat-tingkatan gizi digambarkan oleh Marchione mengenai Jamaica, dengan suatu garis lekukan yang itdak umum yang langsung menunjukan artinya. Dalm suatu komuniti yang ditelitinya pada awal tahun 1970-an, jarang ditemukan ketergantungan sepenuhnya pada hasil pertanian, dan pendapatan penduduk naik oleh pendapatan sebagai tenaga kerja dan dari penjualan tanaman produksi. Dengan harga-harga makanan yang membubung tinggi di seluruh negri, rumah tangga – rumah tangga terpaksa mengeluarkan 70 sampai 90 % dari penghasilan mereka untuk makanan. Keadaan ini merupakan suatu situasi ekonomi yang menjurus kepada peningkatan pertanian yang setengah susbsistem. Langkah kerumah suatu sistem ekonomi yang lebih “primitif” diduga  secara luas akan semakin memperburuk masalah gizi yang telah gawat. Nyatanya, Marchione menemukan bahwa kekurangan gizi pada rumah tangga – rumah tangga di desa yang lebih miskin, yang hidupnya berorientasi pada pertanian setengah subsistem, menurun secara menyolok, terutama di antara anak-anak. Bahwa suatu peningkatan dalam pertanian  susbsisten sebagaian besar atau seluruhnya menjelaskan perbaikan ini, hal itu dibuktikan oleh angka-angka kekurangan gizi diperkotaan, yang tetap konsten karena ketiadaan perubahan yang berarti dalam hal pola penyediaan makanan (Marchiono 1977: 66-67)
Sebagaimana kita lihat pada bab 2 , hilangnya kebijakan tersebut tidak ada yang lebih jelas daripada kecenderungan para ibu yang telah pindah dari desa ke kota yang tinggal di desa tetapi dengan mudah dapat memperoleh produk – produk dari kota yang diiklankan oleh iklan komersial mengenai- makanan bayi. Di banyak daerah si Afrika, misalnya “pendidikan dan urbanisasi yang meningkta telah melemahkan adat-istiadat pada generasi sekarang . waktu menyusui tidak selama yang terdapat pada masyarakat tradisional . lebih banyak lagi jumlah wanita Afrika yang bekerja dengan gaji dan harus memperpendek atau meninggalkan bayi agar dapat memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka”  (Hendrickse 1966: 343). Bayi-bayi diserahkan kepada para anggota keluarga yang sering yang sering tidak terlatih dan tidak disiapkan untuk pekerjaan memberi susu botol kepada si bayi. “akibat-akibat dari pemberian makanan kepada bayi yang salah sangat jelas jika orang mengunjungi bangsal-bangsal rumah sakit di Afrika. Bayi yang diberi makanan buatan jarang mendapatkan persyaratan makanan yang tepat sehingga kekurangan gizi, selain itu faktor higiene yang keliru dalam mempersiapkan makanan mereka menentukan bahwa mereka menjadi korban serangan radang lambung (gastro-enteritis) yang berulangkali, yang dapat menjurus kepada kegagalan gizi dan kematian. Hanya sedikit saja wanita-wanita Afrika yang menyadari akan resiko menghentikan menyusui dan memberi makanan buatan; dan karena tekanan ekonomi serta semakin menigkatnya pengaruh daya tarik ilan-iklan ‘makanan bayi’ dengan merk tertentu, praktek yang demikian itu menjadi semakin bekembang” (Ibid).

2.11 Pengaruh Faktor Budaya Dalam Pengkajian Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi
Budaya menggambarkan sifat non-fisik, seperti nilai,keyakinan,sikap,atau adat istiadat yang disepakati oleh kelompok masyarakat dan diwariskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Tidak ada satu definisi tunggal untuk kata kultur. Kultur merupakan kumpulan dari keyakinan, pikiran, norma dan adat-istiadat, dan ritual yang dipelajari dari keluarga selama sosialisasi bertahun-tahun.
Perawat merupakan posisi yang tepat untuk mengenal tanda-tanda nutrisi buruk dan mengambil langkah-langkah untuk mengawali perubahan. Kontak sehari-hari yang dekat dengan klien dan keluarganya memungkinkan perawat untuk  mengobservasi status fisik, asupan makanan, penambahan atau kehilangan berat badan, dan respon pada terapi klien. Perawat dapat mengidentifikasi potensial dalam status nutrisi dan mengimplementasikan terapi perawatan,medis dan nutrisi yang tepat untuk mengurangi atau membalikkan perubahan nutrisi.
Aspek budaya yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan nutrisi adalah pola makan alternatif yang dianut oleh beberapa masyarakat yang dapet berpengaruh besar pada pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh.







BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Memandang kebiasaan makan merupakan kompleks keseluruhan dari aktivitas yang berhubungan dengan dapur, kegemaran dan ketidaksukaan pada suatu jenis makanan, pepatah-pepatah rakyat kepercayaan, larangan-larangan dan tahayul yang berhubungan dengan produksi, persiapan pengelolahan makanan dan konsumsi makan sebaqgai kategori pokok dari kebudayaan (Andrson 1978).
Kebiasaan makan pada kelompok yang didasarkan status hubungan rumah tangga mempengaruhi distribusi makanan kepada anggota kelompok, yang menyangkut mutu dan jumlah makanan. Distribusi makanan didasarkan pada status hubungan antar anggota rumah tangga dan bukan atas pertimbangan-pertimbanagan kebutuhan gizi. (Khumaidi, 1994)
3.2 Saran
1. Mahasiswa
a.       Mahasiswadapatmenambahilmu
b.      Mahasiswadapatmengetahuitentangfaktor budaya dalam pengkajian pemenuhan kebutuhan nutrisi
2.  Instansi
Instansi dapat memfasilitasi dengan fasilitas yang memadai sehingga dapat mendukung tercapainya makalah yang baik.






DAFTAR PUSAKA


Anderson, Foster.2006. Antropologi kesehatan. Jakarta : UI 2006

Ratna, Wahyu,SKM.M.Kes.Sosiologi dan antropologi kesehatan.Pustaka Rihama, Januari 2010


Marimbi, Hanum.Sosiologi dan antropologi kesehatan.Nuha Medika,November 2009.

1 komentar:

  1. Casino Bonus Codes 2021 ᐈ Casino Bonuses for United States
    Casino 업소 사이트 Bonuses for 모바일 벳 365 United States 토토 사이트 도메인 Players 잭팟 · 1. Ignition 프라하 사이트 Casino · 2. Bovada Casino · 3. William Hill Casino · 4. 888 Casino.

    BalasHapus