BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap makhluk
hidup membutuhkan makanan. Sebagai makhluk hidup manusia pun membutuhkan
makanan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, setiap
orang senantiasa berusaha mencari makanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan ini, fungsi
makanan (lebih luas yaitu komoditas ekonomi) adalah alat selector bagi
kelangsungan hidup manusia. Makanan atau pola makanan menjadi alat alamiah yang
menyeleksi manusia atau pengelompokan manusia. Perbedaan kepemilikan sumber dan
bahan makanan mengelompokkan manusia menjadi orang kaya dan orang miskin, orang
modern dan orang tradisional, serta perbedaan gaya hidup mengenai makanan
mengelompokkan manusia menjadi manusia gaul atau tidak.
Berdasarkan
pertimbangan ini, keberadaan makanan ternyata memberikan warna-warna kehidupan
yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Makanan bukan lagi
sekedar benda ekonomi yang “hampa makna”. Makanan justru merupakan entitas
budaya yang tumbuh dan berkembang dalam tatanan kehidupan manusia. Dengan kata
lain, bila dikaitkan dengan konteks social budaya, maka makanan itu ternyata
mengandung makna yang lebih luas dibandingkan sekedar bahan konsumsi manusia.
Studi mengenai
makanan dalam konteks budayanya, yang menunjuk kepada masalah-masalah yang
praktis ini, jelas merupakan suatu peranan para ahli antropologi., sebagaimana
halnya dengan kepercayaan dan praktik medis, para ahli antropologi sejak hari
pertama dalam penelitian lapangannya, telah mengumpulkan keterangan tentang
praktik-praktik makan dan kepercayaan tentang makanan dari penduduk yang mereka
observasi. Dan sebagaimana perhatian terhadap kepercayaan dan praktik medis,
apabila digabungkan dengan perhatian praktis tentang kesehatan, akan mengarah
kepada antropologi kesehatan.
1.2 Tujuan
a. Tujuan
umum :
1. Mengetahui persepsi budaya dan makanan.
2. Mengetahui makanan dan identitas budaya.
3. Mengetahui makanan dalam konteks budaya.
4. Mengetahui pembatasan budaya terhadap kecukupan gizi.
5. Mengetahui masalah gizi dalam perubahan budaya.
b. Tujuan
khusus :
1. menambah
pengetahuan tentang etika dan hukum kesehatan
2. untuk
memenuhi tugas mata kuliah Antropology
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Budaya
Budaya adalah suatu
cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang,
dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur
yang rumit termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,pakaian,
bangunan, dan karya seni.
2.2 Persepsi Budaya dan Makanan
Dalam catatan
antropologi, peradaban manusia dibedakan berdasarkan mata pencaharian
masyarakat. Tahap pertama ditandai dengan adanya peradaban manusia yang
didominasi oleh tradisi memburu dan meramu. Pola konsumsi manusia pada masa itu
dengan makan-makanan hasil ramuan bahan tumbuhan yang dikumpulkan dari hutan
dan/atau memakan hasil hutan yang diburu dan kemudian dibakar.
Setelah terjadi
revolusi atau gelombang perdaban yang pertama, manusia beranjak pada tahapan
agrikultur. Mata pencaharian manusia sudah bukan lagi memburu dan meramu, melainkan
sudah pada tahap bercocok tanam,. Pada tahap ini pola dan jenis makanan yang
dikonsumsi pun adalah makanan hasil olahan.
Namun, setelah
adanya revolusi industry atau gelombang ketiga, olahan manusia ini berkembang
dengan pesat. Dengan bantuan teknologi dan industrialisasi, berbagai jenis
makanan, baik yang merupakan olahan dari bahan dasar tumbuhan dan hewan, maupun
dengan bahan kimiawi bermunculan ke permukaan. Pada saat ini, manusia sudah
bukan lagi hanya memakan hasil tanaman melainkan hasil olahan industri.
Setiap masyarakat
memiliki persepsi yang berbeda mengenai benda yang dikonsumsi. Perbedaan
persepsi sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku di
masyarakatnya. Oleh karena itu, bila bertemu beberapa orang dengan latar belakang
budaya yang berbeda akan menunjukkan, persepsi nilai terhadapa makanan yang
berbeda.
Pola makan
masyarakat modern cenderung mengonsumsi makanan cepat saji. Hal ini mereka
lakukan karena tingginya jam kerja atau tingginya kompetisi hidup yang
membutuhkan kerja keras. Padahal dibalik pola makan tersebut, misalnya hasil
olahan siap santap, memiliki kandungan garam yang sangat tinggi.
2.3 Makanan dan Identitas Budaya
Melanjutkan kajian
tersebut, maka telah mengenai makna budaya dari sebuah makanan menjadi sangat
penting untuk dipahami oleh berbagai kalangan. Pengetahuan seperti ini, selain
dapat bermanfaat untuk mengembangkan sikap bijak terhadap persepsi masyarakat
lain, juga untuk menghindari gizi buruk akibat adanya kesalahan persepsi
terhadap satu jenis makanan tertentu. Terkait dengan masalah ini, ada beberapa
nilai budaya makanan yang perlu diperhatikan.
2.4Kebutuhan
fisiologi
David morely adalah orang pertama yang pertama
mengenalkan penggunaan grafik tumbuh kembang fidik anak sebagai alat untuk
memantau secara longitudinal kecukupan gizi anak dan mulai diadopsi di
indonesia sejak tahun 1974 dengan sebutan kartu menuju sehat (KMS).
Setiap tahap tubuh kembang anak membutuhkan asupan
gizi yang berbeda. Oleh, karna itu setiap orang tua dan tenaga medis perlu
memperhatikan aspek asupan gizi bagi seseorang tahap tumbuh kembang anak. Untuk
sekedar contoh , kebutuhan akan garam dapur mengandung unsur sodium dan chlor
(NaCl). Unsur sodium penting untuk mengatur keseimbangan cairan didalam tubuh,
selain bertugas didalam transmisi saraf atau kerja otot.
Kita boleh tidak makan garam, asal ada sodium dalam
menu harian. Banyak menu harian yang menyimpan sodium dan itu tidak bisa
mencukupi kebutuhan tubuh . namun, karna sodium yang secara alami terkandung
dalam bahan makanan tidak berkaitan dengan chlor, tak memberi cita rasa asin
pada lidah kita.itu berarti, kendati menu yang dikomsumsi tanpa garam atau tak
bercita rasa asin, tidak bermakna tubuh tak memperoleh kecukupan sodium. Walau
tidak terasa asin daging sapi, sarden, keju, dan kripik kentang kaya unsur
sodium.
Kesimpulan pemikiran ini menekankan bahwa mengkomsumsi
makanan bertujuan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan fisiologi
seseorang oleh karena itu usaha menjaga keseimbangan gizi dan/atau mengkomsumsi
makanan 4 sehat 5 sempurna merupakan usaha untuk mendukung pada tujuan makanan
dari sisi fisiologi.
2.5Makanan
sebagai identitas kelompok
Nasi adalah salah satu komoditas makanan utama bagi
masyarakat sunda- jawa. Sementara jagung menjadi komoditas komponen utama bagi
masyarakat madura. Bagi orang barat, mereka tidak membutuhkan nasi setelah
mengonsumsi roti karena roti merupakan makanan utama dalam budaya barat.
Persepsi dan penilaian seperti ini merupakan makna makanan sebagai budaya utama
sebuah masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila orang sunda,
kendati sudah makan roti kadangkala masih berkata belum makan karena dirinya
belum menyantap nasi.
Karena adanya kesangsian terhadap makanan hasil olahan
atau makanan instan, banyak diantara masyarakat kota yang sudah mulai berpindah
ke tradisi vegetarian.
2.6Makanan
sebagai nilai sakral
Di luar makna budaya, dalam kehidupan masyarakat
indonesia makanan pun ada yang mengandung nilai sakral dan ada yang mengandung
nilai profan. Khusus untuk makanan yang memiliki nilai sakral, di antaranya
dapat ditemukan dalam beberapa agama atau budaya daerah indonesia.
Daging kambing kurban dan beras zakat merupakan
makanan sakral dalam kehidupan bagi kalangan muslim. Kue sakramen merupakan
makanan sakral bagi kalangan nasrani. Sapi adalah hewan sakral bagi masyarakat
hindu. Rokok cerutu merupakan komoditas sakral bagi masyarakat jawa karena
biasa digunakan sebagai bagian dari sesaji bagi nenek moyangnya.
Bagi masyarakat islam, mengonsumsi makanan ini, tidak
cukup hanya dengan memenuhi syarat bersih (thayyib), tetapi juga harus memenuhi
syarat halal, artinya cara mendapatkan dan cara mengolahnya sesuai dengan
aturan dan norma yang ditentukan oleh ajaran agama. Dengan demikian, bagi
masyarakat islam mengonsumsi makanan merupakan bagian dari praktik agama itu
sendiri. Inilah yang dimaksudkan dengan makanan mengandung nilai sakral.
Dalam tradisi jawa ada ritual memakan makanan tertentu
yang terbiasa muncul dalam ritual
keyakinannya. Mutih adalah ritual makan orang jawa untuk mengonsumsi yang tidak
berasa (tawar) dalam rangka melakukan tirakat atau penyucian batin untuk
mencapai tujuan tertentu. Dalam kasus lain, kelompok pencari kedigjayaan
(istilah jawanya “ngilmu”), ada yang mensyaratkan makan bangkai - misalnya
bangkai manusia – sebagai lelaku untuk mendapatkan ilmu “ngilmu” tersebut.
2.7Makanan
sebagai kebutuhan medis
Seiring dengan perkembangan ilmu kesehatan, sekarang
sudah banyak buku dan temuan penelitian yang mengulas mengenai manfaat makanan
bagi peningkatan kesehatan. Kebutuhan vitamin atau gizi dapat dipenuhi jika
seseorang mengonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna. Hembing telah mengembangkan
pengobatan alternatif yang bersumber dari makanan atau ramuan. Hal ini
menunjukkan bahwa memakan suatu makanan memiliki nilai medis.
Bahkan – sekali lagi, kendatipun belum didukung
penelitian yang mencukupi – mengunyah
karet, sekarang diakui sebagai salah satu pilihan untuk olahraga wajah.
Sehingga pada akhirnya kepenatan hidup dapat dikurangi.
Merujuk pada paparan tersebut, tidak salah lagi dapat
dikatakan bahwa makanan bisa menjadi sumber penyebab hadirnya sebuah penyakit.
Tetapi tidak dapat diingkari pula, bahwa makanan memiliki peran dan fungsi
nyata sebagai sumber terapi kesehatan.
Namun
demikian, mengonsumsi makanan yang mengandung kandungan gizi seimbang (misalnya
4 sehat 5 sempurna), belumlah cukup untuk membangun individu yang sehat. Dalam
penelitian terakhir, dikatakan bahwa untuk meningkatan kualitas kesehatan
individu perlu menambahkan makanan yang 4 sehat 5 sempurna dengan gerak.
Dalam piramida tersebut, untuk membangun kualitas
pribadi yang sehat, 4 sehat 5 perlu
dipadukan dengan gerak atau aktivitas olahraga.
Pandangan sejalan dengan pandangan tri-energetik yang
memberikan penekanan pentingnya energi tubuh atau gerak dalam membangun jiwa
dan pribadi yang sehat. Pada konteks inilah, makanan merupakan bagian dari
kebutuhan medis.
2.8
MAKANAN DALAM KONTEKS
BUDAYA
Para
ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan
masak-memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat,
kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan, dan tahayul-tahayul yang
berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi makanan pendeknya, sebagai
suatu kategori budaya yang penting. Dan, sebagai suatu kategori budaya yang
penting, ahli-ahli antropologi melihat makanan mempengaruhi dan berkaitan
dengan banyak kategori budaya lainnya. Meskipun mereka mengakui bahwa makanan
adalah yang utama bagi kehidupan, yaitu di atas segalanya merupakan suatu
gejala fisiologi, para ahli antropologhi budaya paling sedikit menaruh
perhatian khusus terhadap peranan makanan dalam kebudayaan sebagai kegiatan
ekspresif yang memperkuat kembali hubungan-hubungan social, sanksi-sanksi,
kepercayaan-kepercayaan dan agama, menentukan banyak pola ekonomi dan menguasai
sebagaian besar dari kehidupan sehari-hari.
1. Kebudayaan
menentukan makanan
Semula terpikir, nampaknya aneh untuk
menanyakan, “apakah makanan itu?”. Makanan adalah yang tumbuh di ladang-ladang,
yang berasal dari laut, yang dijual dipasar dan yang muncul di meja kita pada
waktu makan. Pertanyaan itu, sebagaimana pun juga dasar dari pengertian dan
gizi. Sebagai suatu gejala budaya, makanan bukanlah semata-mata suatu produk
organic dengan kualitas-kualitas biokimia, yang dapat dipakai oleh opganisme
yang hidup termasuk manusia. Tidak ada suatu kelompok pun, bahkan dalam keadaan
kelaparan yang akut, akan mempergunakan semua zat gizi yang ada sebagai
makanan. Karena pantangan agama, tahayul, kepercayaan tentang kesehatan dan
suatu peristiwa yang kebetulan dalam sejarah, ada bahan-bahan makanan bergizi
baik yang tidak boleh dimakan. Makanan adalah suatu konsep budaya, suatu
pernyataan yang sesungguhnya mengatakan “zat ini sesuai bagi kebutuhan gizi
kita.” Sedemikian kuat kepercayaan-kepercayaan kita mengenai apa yang dianggap
makanan dan apa yang dianggap bukan makanan sehingga terbukti sangat sukar
untuk meyakinkan orang untuk menyesuaikan makanan tradisional mereka demi
kepentingan gizi yang baik.
Di Amerika Serikat, kita mengenal
variasi makanan yang sangat luas akibat asal kita yang multi-etnik dan sistem
produksi makanan yang berlimpah ruah. Namun,ada banyak makanan bergizii yang
sangat dihargai oleh warga budaya lain yang kita kenal, yang biasanya tidak
kita anggap sebagai makanan : kuda, anjing, burung-burung kecil seperti lark.
Daftar tersebut dapat diperluas beberapa kali lagi dan kenyataannya mungkin
sekali, suatu makanan yang dari segi gizi dapat diterima, dapat digolongkan
sebagai “makanan” yang sebagaian besar orang Amerika tidak pernah memakannya.
Selanjutnya pilihan-pilihan pribadi
lebih mengurangi lagi variasi makanan yang disantap oleh setiap individu.
Meskipun sejumlah orang gemar mencoba-coba makanan baru, sebagian besar lagi
paling senang dengan menu yang telah dikenal. Di Amerika Serikat, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa makanan yang “paling tidak disukai”, termasuk
buttermilk 9cairan asam dari mentega), parsnip (jenis akar-akaran), terong,
hominy (bagian dari jagung) tiram, turnip (sejenis akar-akaran) , kaki babi,
dan organ-organ dalam seperti otak, hati, ginjal, jantung, dan babat (lihat
Hall dan Hall 1939; Wallen 1943).
2. Nafsu
makan dan lapar
Bukan makanan (food saja dibatasi
budaya, namun juga konsep tentang makanan (meal), kapan dimakannya, terdiri
dari apa, dan etiket makanan. Diantara masyarakat yang cukup makanan,
kebudayaan makanan mendikte, kapan mereka merasa lapar dan apa, serta banyak
mereka harus makan agar memuaskan rasa lapar. Perut sebagian orang Amerika
mengirim isyarat lapar terus-menerus sekitar tengah hari-meskipun sarapannya
lebih dari cukup sedangkan Meksiko, perut berada dalam keadaan pasif sampai jam
3 atau jam 4 sore.
Dengan kata lain, nafsu makan dan
lapar adalah gejala yang berhubungan, namun juga berbeda. Nafsu makan dan apa
yang diperlukan untuk memuaskannya, adalah suatu konsep budaya yang dapat
sangat berbeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya.
Dalam banyak masyarakat, definisi
lengkap dari makanan tidak dapat dibuat tanpa merujuk kepadan konsep makanan
dan waktu makan. Di Amerika biasanya yang kita pikirkan sebagai makanan adalah
sesuatu jenis yang nilai gizinya telah diakui, tanpa menghiraukan kapan
disantapnya, meskipun biasanya, kopi pada tengah hari dan kopi pada sore hari
biarpun memakai krim dan gula yang bergizi tidak dianggap sebagai mkanan. Di
daerah Meksiko misalnya makanan adalah yazng disantap pada jam-jam makan. Dalam
survey gizi terdahulu di Meksiko, perbedaan di pedesaan ini tidak selalu
diperhatikan. Jika ditanyakan, makanan apa yang mereka makan pada hari
sebelumnya, para informan dengan sungguh-sungguh membuat daftar dari berbagai
makanan yang disantap pada setiap waktu makan. Akibatnya, banyak macam makanan
yang bergizi dan penting, termasuk makanan kecil seperti larva dan serangga,
tidak termasuk dalam analisis, dan makanan itu kelihatan kurang seimbang dengan
sebenarnya.
3. Semua
masyarakat mengklafisikasikan makanan.
Dalam setiap kelompok, makanan
diklasifikasikan dengan cara-cara yang bervariasi : apa yang layak bagi waktu
makan yang resmi, dan sebagai makanan ringan di antara waktu makan; dan menurut
pemikiran tentang status dan prestise, menurut pertemuan social, usia, keadaan
sakit dan sehat, dan menurut nilai-nilai simbolik secara ritual.
Pertimbangan status memainkan peranan
yang penting, terutama dalam merubah kebiasaan makanan. Orang Meksiko di
pedesaan, misalnya lebih suka tortilitas jagung bila mereka ingin mengenyangkan
perut, namun roti tawar (putih) semakin dibuat sebagai makanan status, terutama
untuk dimakan pada waktub sarapan. Makanan yang dipandang bermutu bermutu,
dibungkus dan sangat luas diiklankan tampaknya mempunyai daya penarik yang tak
tertahan bagi orang-orang di Negara sedang berkembang, meskipun banyak dari
makanan tradisional. Negara-negara maju juga mencerminkan ide-ide status yang
lepas dari kenyataan gizi yang sebenarnya, seperti, misalnya, kegemaran yang
hamper universal kepada daging sapi dibandingkan dengan daging babi atau domba.
Mungkin
semua orang mengklasifikasikan makanan yang dihubungkan dengan kesehatan dan
penyakit dua dengan tingkatan-tingkatan siklus kehidupan. Pantangan-pantangan
makanan dalam saat sebelum dan sesudah kelahiran dicatat oleh para ajli
antropologi dalam masyarakat-masyarakat yang mereka pelajari, dan pantangan
makanan merupakan peraturan di waktu orang jatuh sakit.kemungkinan klasifikasi
makanan yang paling tersebar luas, dan khususnya yang penting dalam kaitannya
dengan kesehatan, adalah dikotomi “panas dingin” yang diuraikan dalam diskusi
tentang patologi. Kualitas lokal apa pun yang di berikan kepada setiap makanan,
tema yang umum adalah bahwa melalui keseimbangan makanan yang bijaksana dan
penghindaran jumlah yang berkelibihan antar panas dan dingin, kesehatan dapat
dipertahankan sebaik-baiknya.
4. Peranan-peranan
simbolik dari makanan
Makanan, nyatanya merupakan sesuatu
yang pokok dalam hidup. Makanan juga penting bagi pergaulan social. Jika tidak
ada cara-cara di mana makanan dimanipulasikan secara simbolis untuk menyatakan
persepsi terhadap hubungan antara individu-individu dan kelompok-kelompok, juga
di dalam kelompok, sukarlah untuk meramalkan, bagaimana kehidupan social dapat
terjadi.
A.
MAKANAN DAN STRESS
Makanan-makanan
khusus dapat merupakan pencerminan identitas dari yang memakannya, melebihi
benda – benda budaya lainnya dengan demikian,makanan memberi rasa ketentraman
dalam keadaan – keadaan yang menyebabkan stress. Sejauh mungkin banyak imigran
di Amerika serikat melanjutkan pola-pola makanan seperti yang dimakan di rumah
mereka . yang seringkali diperoleh dengan usaha dan biaya yang berat.
Sebaliknya, orang amerika yang tinggal di luar Negara mereka lebih senang
bilamana mereka bisa memperoleh “wakil” Amerika dalam bentuk makanan yang
dibekukan, makanan kaleng, makanan dalam kotak yang biasanya mereka makan di
negaranya. Nilai keamanan psiokologis dari makanan juga dibuktikan dengan suatu
kecendrungan umum untuk makan melebihi biasanya dan makan makanan kecil
diantara waktu-waktu makan , apabila seseorang merasa tidak bahagia atau
mengalami keadaan stress yang berat .
Burgess
dan Dean menyatakan bahwa sikap-sikap terhadap makanan sering mencerminkan
persepsi tentang bahaya maupun perasaan stress. Menurut mereka, suatu cara
untuk mengatasi stress dari dalam, sehubungan dengan ancaman terhadap jiwa atau
terhadap keamanan emosional adalah melebih-lebihkan bahaya dari luar, cara
lainnya adalah mempersalahkan ancaman dari dalam akibat pengaruh luar. Berbagai
macam usaha magis dilakukan untuk menghindari bahaya dari luar untuk
mengimbangi suatu jenis ancaman tertentu terhadap ancaman lain. “Praktek
memberi makanan yang dipanasi atau didinginkan khususnya dalam kondisi klinis
tertentu mungkin merupakan suatu bentuk dari jenis teknik keseimbangan ini
serupa halnya menghindari makanan tertentu mungkin tanpa disadari merupakan
suatu teknik magis untuk mengelakan apa yang dipandang sebagai pengaruh Currier
juga mengintrepetasikan dikotomi panas-dingin meksiko dalam pengertian
isi,simbolis maupun pengertian luarnya yang berhubungan dengan kesehatan .
“Dingin” dituliskan dengan aspek-aspek keberadaan yang mengancam, sedangkan
hangat dikaitkan dengan rasa aman” (Currier 1966:256). Dengan demikian maka
baik untuk di catat bahwa sebagian besar orang Amerika serikat menilai makanan
panas lebih baik daripada dingin walaupun tidak Nampak korelasi kepercayaan itu
dengan gizi. Meskipun demikian, kita bersusah payah untuk memastikan bahwa
paling sedikit satu kali dalam sehari, kita menghidangkan makanan panas, dan
banyak orang merasa lebih mampu menghadapi tantangan sehari-hari jika mereka
keluar rumah setelah diperkuat dengan sarapan yang panas .
2.9PEMBATASAN BUDAYA TERHADAP KECUKUPAN GIZI
Kecuali di
tempat-tempat dimana tekanan penduduk melampaui batas, masyarakat rumpun dan
masyarakat pedesaan yang telah lama menetap di tempat yang sama biasanya telah
berusaha dengan sangat baik dalam mengekspoitasi lingkungan mereka untuk
mendapatkan makanan yang seimbang . Walaupun sumber-sumber pangan yang tersedia
bagi mereka mungkin tidak didefinisikan sebagai “makanan” melalui uji coba
mereka belajar mengenai apa yang mereka butuhkan untuk menjaga kekuatan dan
kesehatan mereka . Dengan memanfaatkan kombinasi makanan pokon dan makanan
musiman seperti buah-buahan dan daun-daun untuk jamu, buah berry,grub dan
serangga , mereka sering telah mencapai makanan yang memuaskan. Apa yang sering
belum dipelajari oleh masyarakat rumpun dan pedesaan adalah hubungan antara
makanan dan kesehatan dan antara makanan yang baik dengan kehamilan,juga
kebutuhan kebutuhan akan makanan khusus bagi anak setelah penyapihan. Walaupun
gizi buruk di dunia ini banyak disebabkan oleh kekurangan pangan yang mutlak,
masalahnya bertambah parah akibat berbagai kepercayaan budaya dan
pantang-pantangan yang sering membatasi pemanfaatan makanan yang tersedia .
Maka dalam perencanaan kesehatan, masalahnya tidak terbatas pada pencarian
cara-cara untuk menyediakan lebih banyak bahan makanan, melainkan harus pula
dicarikan cara – cara untuk memastikan bahwa bahan makanan yang tersedia
digunakan secara efektif.
1.
Kegagalan
untuk melihat hubungan antara makanan dan kesehatan
Dasar
kearifan konvesional mengenai makanan seperti yang dicatat pada bab sebelum
ditandai oleh kesenjangan yang besar dalam pemahaman tentang bagaimana makanan
itu adalah kegagalan yang berulang kali terjadi untuk mengenal hubungan yang
pasti antara makanan dan kesehatan . Susunan makanan yang cukup cenderung
ditafsirkan dalam rangka kuantitas bukan kualitasnya mengenai makanan pokok
yang cukup bukan pula dari keseimbangannya dalam hal berbagai makanan . Karena
itu gizi buruk bisa terjadi di tempat-tempat di mana sebenernya makanan cukup.
Sebagai
ilustrasi , shaman menemukan bahwa dikalangan penduduk adhola, uganda
timur,”tidak ada konseptentang perbedaan nilai gizi dari bahan-bahan
makanan,orang adhola tidak melihat kaitan antara makanan dan kesehatan tidak
ada dalam kepercayaan masyarakat adhola bahwa penyakit dapat disebabkan oleh
kekurangan jenis makanan tertentu”(Sharman 1970:81). Dan di desa chinaura di
india bagian utara, Hasan menemukan bahwa nasyarakat “umumnya oercaya bahwa
kuantitas makanan yang cukup adalah yang penting. Konsep kualitas hanya
terbatas pada makanan-makanan tertentu yang dianggap memperkuat, tidak terdapat
perbedaan antara makanan pelindung dan makanan penghasil energi”. Jelliffe dan
bennet yang memiliki pengalaman yang luas dengan berbagai masalah nutrisi di
daerah tropis berbicara mengenai masalah “makanan istimewa” yakni makanan pokok
yang kecuali diberi tambahan makanan lain, mengenyangkan tetapi megakibatkan
gizi buruk bagi yang memakan. Di buganda mereka menunjukan bahwa “nutrien yang
tersedia memang untuk mencegah gizi buruk namun ekurangan kalori-protein sejak
balita umum terdapat pada masyarakat itu,karena mereka tidak memanfaatkan
sepenuhnya makanan bergizi yang tersedia”(Jellife dan Bennet 1962:175-75).
Kegagalan untuk menggunakan apa yang tersedia kata mereka seringkali disebabkan
oleh kepercayaan bahwa yang di anggap makanan hanyalah “makanan istimewa”
sedangkan makanan-makanan lainnya tidak penting .
2.
Kegagalan
untuk mengenali kebutuhan gizi pada anak-anak
Kesenjangan besar yang kedua dalam kearifan makanan
tradisional pada masyarakat rumpun dan masyarakat petani adalah seringnya
kegagalan mereka untuk mengenali bahwa anak-anak mempunyai kebutuhan-kebutuhan
gizi khusus, baik sebelum maupun setelah penyapihan. Terlalu sering anak-anak
dianggap sebagai orang dewasa yang kecih sehubungan dengan gizi . Hendrickse
mengemukakan masalah di daerah tropis Afrika, “kenyataan bahwa seorang balita
boleh mendapatkan sedikit daging,ikan atau telur tidak di anggap penting karena
tidak ada pengertian tentang kebutuhan khusus bagi anak-anak akan makanan yang
mengandung protein, dan dalam tiap kasus pantangan lokal mungkin memberi
pembatasan pula terhadap konsumsi berbagai makanan tersebut oleh anak” Anak”
(Hendrickse 1966: 344). Berbicara khususnya tentang orang adhola di Uganda
Timur, Sharman menulis bahwa “Tidak terpikir bahwa anak-anak memerlukan makanan
khusus dan tidak ada makanan yang khusus dimasak untuk mereka “(Sharman 1970:
82). Jellife dan Bennet juga mencatat hal yang serupa. “ Di banyak tempat,
pikiran bahwa anak-anak memerlukan makanan yang dimasak khusus dan makan tiga
atau empat kali sehari adalah hal yang belum pernah mereka dengar, orang tidak
membuat hubungan antara dengan pertumbuhan dan makanan seperti lazimnya yang
dilakukan orang barat, atau antara gizi buruk dan kekurangan makanan tertentu”
(Jellife dan Bennet 1962: 175).
2.10MASALAH
– MASALAH GIZI DALAM PERUBAHAN BUDAYA
Bilamana
kehidupan orang pedesaan yang telah lama mapan, yang telah dapat mencapai (kebutuhan)
makana yang wajar dan memuaskan, digoncangkan oleh masuknya tanaman produksi,
pekerjaan buruh, migrasi ke kota-kota besar, penurunan gizi pun sering terjadi
(Foster 1973: 61-63). Penemuan Burgess dan Dean menggambarkan yang umum.
“meskipun terdapat suatu kecenderungan umum bahwa makanan menjadi lebih baik
dengan bertmbahnya penghasilan, kebalikannya, makanan juga bisa lebih buruk,
terutama dalam perubahan dari ekonomi susbsistem menjadi ekonomi uang. Apabila
tanaman produksi seperti coklat, kapas atau tembakau menggantikan tanaman
pangan tradisional atau bilamana keluarga-keluarga meninggalkan tugas-tugas
tradisional untuk berkeja denga gaji, makanan yang kurang nilai gizinya,
seperti singkong atau makanan-makanan yang dapat dibeli, menggantikan makanan
kebiasaannya yang lebih baik “(Burgess dan Dean 1962: 17). Di Pasifik Selatan,
misalnya:
tingkat-tingkatan gizi menurun harga apabila harga kopra naik, karena para
penduduk membeli daging dan ikan kaleng, gula dan terigu pabrik, bukannya
menagkap ikan dan menambah bahan pangan (Ibid).
Suatu
hubungan yang umum antara tanaman produksi dan tingkat-tingkatan gizi
digambarkan oleh Marchione mengenai Jamaica, dengan suatu garis lekukan yang
itdak umum yang langsung menunjukan artinya. Dalm suatu komuniti yang
ditelitinya pada awal tahun 1970-an, jarang ditemukan ketergantungan sepenuhnya
pada hasil pertanian, dan pendapatan penduduk naik oleh pendapatan sebagai
tenaga kerja dan dari penjualan tanaman produksi. Dengan harga-harga makanan
yang membubung tinggi di seluruh negri, rumah tangga – rumah tangga terpaksa
mengeluarkan 70 sampai 90 % dari penghasilan mereka untuk makanan. Keadaan ini
merupakan suatu situasi ekonomi yang menjurus kepada peningkatan pertanian yang
setengah susbsistem. Langkah kerumah suatu sistem ekonomi yang lebih “primitif”
diduga secara luas akan semakin
memperburuk masalah gizi yang telah gawat. Nyatanya, Marchione menemukan bahwa
kekurangan gizi pada rumah tangga – rumah tangga di desa yang lebih miskin,
yang hidupnya berorientasi pada pertanian setengah subsistem, menurun secara
menyolok, terutama di antara anak-anak. Bahwa suatu peningkatan dalam
pertanian susbsisten sebagaian besar
atau seluruhnya menjelaskan perbaikan ini, hal itu dibuktikan oleh angka-angka
kekurangan gizi diperkotaan, yang tetap konsten karena ketiadaan perubahan yang
berarti dalam hal pola penyediaan makanan (Marchiono 1977: 66-67)
Sebagaimana kita lihat pada bab 2 , hilangnya
kebijakan tersebut tidak ada yang lebih jelas daripada kecenderungan para ibu
yang telah pindah dari desa ke kota yang tinggal di desa tetapi dengan mudah
dapat memperoleh produk – produk dari kota yang diiklankan oleh iklan komersial
mengenai- makanan bayi. Di banyak daerah si Afrika, misalnya “pendidikan dan
urbanisasi yang meningkta telah melemahkan adat-istiadat pada generasi sekarang
. waktu menyusui tidak selama yang terdapat pada masyarakat tradisional . lebih
banyak lagi jumlah wanita Afrika yang bekerja dengan gaji dan harus
memperpendek atau meninggalkan bayi agar dapat memenuhi tuntutan dari pekerjaan
mereka” (Hendrickse 1966: 343).
Bayi-bayi diserahkan kepada para anggota keluarga yang sering yang sering tidak
terlatih dan tidak disiapkan untuk pekerjaan memberi susu botol kepada si bayi.
“akibat-akibat dari pemberian makanan kepada bayi yang salah sangat jelas jika
orang mengunjungi bangsal-bangsal rumah sakit di Afrika. Bayi yang diberi
makanan buatan jarang mendapatkan persyaratan makanan yang tepat sehingga
kekurangan gizi, selain itu faktor higiene yang keliru dalam mempersiapkan
makanan mereka menentukan bahwa mereka menjadi korban serangan radang lambung (gastro-enteritis) yang berulangkali,
yang dapat menjurus kepada kegagalan gizi dan kematian. Hanya sedikit saja
wanita-wanita Afrika yang menyadari akan resiko menghentikan menyusui dan
memberi makanan buatan; dan karena tekanan ekonomi serta semakin menigkatnya
pengaruh daya tarik ilan-iklan ‘makanan bayi’ dengan merk tertentu, praktek
yang demikian itu menjadi semakin bekembang” (Ibid).
2.11 Pengaruh Faktor Budaya Dalam Pengkajian Pemenuhan
Kebutuhan Nutrisi
Budaya menggambarkan
sifat non-fisik, seperti nilai,keyakinan,sikap,atau adat istiadat yang
disepakati oleh kelompok masyarakat dan diwariskan dari satu generasi
kegenerasi berikutnya. Tidak ada satu definisi tunggal untuk kata kultur.
Kultur merupakan kumpulan dari keyakinan, pikiran, norma dan adat-istiadat, dan
ritual yang dipelajari dari keluarga selama sosialisasi bertahun-tahun.
Perawat merupakan
posisi yang tepat untuk mengenal tanda-tanda nutrisi buruk dan mengambil
langkah-langkah untuk mengawali perubahan. Kontak sehari-hari yang dekat dengan
klien dan keluarganya memungkinkan perawat untuk mengobservasi status fisik, asupan makanan,
penambahan atau kehilangan berat badan, dan respon pada terapi klien. Perawat
dapat mengidentifikasi potensial dalam status nutrisi dan mengimplementasikan
terapi perawatan,medis dan nutrisi yang tepat untuk mengurangi atau membalikkan
perubahan nutrisi.
Aspek budaya yang
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan nutrisi adalah pola makan alternatif yang
dianut oleh beberapa masyarakat yang dapet berpengaruh besar pada pemenuhan
nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Memandang kebiasaan makan merupakan kompleks keseluruhan dari
aktivitas yang berhubungan dengan dapur, kegemaran dan ketidaksukaan pada suatu
jenis makanan, pepatah-pepatah rakyat kepercayaan, larangan-larangan dan
tahayul yang berhubungan dengan produksi, persiapan pengelolahan makanan dan
konsumsi makan sebaqgai kategori pokok dari kebudayaan (Andrson 1978).
Kebiasaan makan pada kelompok yang didasarkan status
hubungan rumah tangga mempengaruhi distribusi makanan kepada anggota kelompok,
yang menyangkut mutu dan jumlah makanan. Distribusi makanan didasarkan pada
status hubungan antar anggota rumah tangga dan bukan atas
pertimbangan-pertimbanagan kebutuhan gizi. (Khumaidi, 1994)
3.2 Saran
1. Mahasiswa
a.
Mahasiswadapatmenambahilmu
b.
Mahasiswadapatmengetahuitentangfaktor budaya dalam pengkajian pemenuhan kebutuhan nutrisi
2. Instansi
Instansi dapat memfasilitasi dengan fasilitas yang
memadai sehingga dapat mendukung tercapainya makalah yang baik.
DAFTAR PUSAKA
Anderson, Foster.2006. Antropologi kesehatan. Jakarta : UI 2006
Ratna, Wahyu,SKM.M.Kes.Sosiologi
dan antropologi kesehatan.Pustaka Rihama, Januari 2010
Marimbi, Hanum.Sosiologi
dan antropologi kesehatan.Nuha Medika,November 2009.
Casino Bonus Codes 2021 ᐈ Casino Bonuses for United States
BalasHapusCasino 업소 사이트 Bonuses for 모바일 벳 365 United States 토토 사이트 도메인 Players 잭팟 · 1. Ignition 프라하 사이트 Casino · 2. Bovada Casino · 3. William Hill Casino · 4. 888 Casino.